Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Timnas Indonesia di Fase "Serba Salah"

13 November 2024   23:30 Diperbarui: 14 November 2024   10:59 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Rizky Ridho Ramadhani dan Sandy Walsh berebut bola dengan pesepakbola Timnas Jepang Ayase Ueda | Yusran Uccang/ANTARA FOTO via Kompas.com

Bicara soal Timnas Indonesia, tentu tak lepas dari berbagai pergantian fase. Ada saatnya suasana terasa menyenangkan, dan ada saatnya terasa menyesakkan.

Soal rasa sesak dan ngilu, khususnya saat Tim Garuda kalah, atau momen menyesakkan lain, publik sepak bola nasional, terutama yang sudah mengikuti sejak lama (termasuk saya sendiri dan setidaknya sebagian dari pembaca) tentu sudah tidak asing dengan rasa ini.

Maklum, sepak bola nasional sudah cukup banyak mengalami, bahkan pernah berada di titik nadir. Misalnya saat kena sanksi FIFA atau terjadinya Tragedi Kanjuruhan.

Saking seringnya rasa tidak enak ini datang, ada yang sampai "terlatih patah hati", dan tidak berani bermimpi terlalu tinggi. Bukan karena pesimis, tapi karena sudah terlalu banyak pengalaman di masa lalu yang mendidik dengan sangat keras, lewat berbagai hasil pahit.

Setengah lusin kekalahan di Piala AFF, kesulitan menapak level Asia, dan berbagai cerita muram lain sudah cukup menjelaskan. Seharusnya, semua sudah semakin jelas, karena PSSI tak pernah benar-benar serius, atau minimal punya rencana memperbaiki peringkat FIFA Indonesia dalam jangka panjang.

Maka, ketika Tim Merah Putih bisa melangkah ke babak ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, dan PSSI era Erick Thohir berencana memperbaiki peringkat FIFA Indonesia, antara lain lewat penelusuran bakat pemain diaspora Indonesia, bayangan suram itu bisa minggir sebentar.

Ada progres dan sedikit nyali untuk (minimal) merasa optimis, karena tim yang bertanding mampu mengimbangi lawan. Keberadaan pemain-pemain diaspora yang main di luar negeri, seperti Jay Idzes, Calvin Verdonk, dan Thom Haye sejauh ini sudah menghadirkan level kualitas yang selama ini dibutuhkan.

Jadi, wajar kalau harapan yang ada langsung melambung tinggi. Pada titik paling ekstrem, ada yang dengan sangat optimis menyebut, tim asuhan Shin Tae-yong bisa lolos otomatis ke Piala Dunia.

Padahal, Maarten Paes dkk sebenarnya masih perlu membiasakan diri bersaing di level Asia. Meski terkesan remeh, ini sebenarnya sangat menentukan.

Dengan keterbiasaan ini, tim akan bisa fokus secara maksimal. Sekalipun ada keputusan wasit yang dinilai kontroversial, tim tersebut bisa tetap fokus di lapangan, dan mengejar kemenangan.

Di level Asia, keterbiasaan ini antara lain terlihat dari keberadaan Korea Selatan, Australia, dan Jepang, yang secara konsisten mampu mengimbangi dominasi tim-tim Timur Tengah.

Mereka bisa tetap fokus, sekalipun tim-tim Timur Tengah terbiasa bermain "tricky" dan keputusan wasit kadang bermasalah. Level ini jelas belum sebanding dengan tim yang fisiknya bermain di Tiongkok, tapi pikirannya masih tertinggal di Timur Tengah, gara-gara permainan "nakal" Bahrain dan keputusan kontroversial wasit.

Jelas, butuh waktu lebih lama untuk membentuk dan membiasakan. Masalahnya, ekspektasi yang ada belakangan meningkat drastis.

Saking meningkatnya, optimisme yang ada sampai menepikan fakta soal kekuatan aktual Jepang dan Arab Saudi, dua lawan yang dihadapi Timnas Indonesia di Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, dalam jeda internasional FIFA bulan November 2024.

Padahal, sekalipun bermain di rumah sendiri Jepang tetaplah Jepang, begitu juga Arab Saudi. Keduanya adalah tim papan atas Asia, yang sama-sama pernah lolos ke babak gugur Piala Dunia.

Jangan lupa, meski mampu menahan imbang 1-1 Arab Saudi, Justin Hubner dkk pernah kalah 1-3 dari  Jepang, di fase grup Piala Asia 2023

Ada perbedaan level yang seharusnya cukup terang benderang. Jadi kalau optimisme yang ada terlalu tinggi, ini rawan jadi bumerang. Kebetulan, ini sudah terjadi di jeda internasional FIFA bulan Oktober 2024.

Kala itu, media dan publik sepak bola nasional sama-sama yakin Tim Garuda bisa meraih poin penuh di Bahrain dan Tiongkok. Tapi, keyakinan itu berakhir jadi bumerang, karena di dua pertandingan itu. hasil imbang dan kekalahan.

Berangkat dari pengalaman itu, seharusnya sudut pandang yang ada jadi lebih objektif. Masalahnya, atas nama "nasionalisme", objektivitas kadang ditepikan.

Apa boleh buat, tim yang ada saat ini seperti ada dalam situasi serba salah. Menang atau kalah tetap disorot habis, padahal, tim yang ada sekarang belum cukup tangguh, karena masih belum jadi sepenuhnya.

Daripada berharap terlalu tinggi, sudut pandang yang ada boleh sedikit diperluas. Meski kalah sekalipun atas Jepang dan Arab Saudi di Jakarta, paling tidak para pemain sudah berusaha sebaik mungkin di lapangan, dan tidak kalah sebelum bertanding.

Jadi, publik sepak bola nasional bisa melihat, tim nasional kita punya (minimal) semangat 45 di lapangan hijau, sehingga bagian membanggakan saat tim nasional beraksi, tidak lagi dimulai dan berakhir di momen saat lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang jelang kick off.

Berani?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun