Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Tari Legong, dari Adaptasi ke Adaptasi

8 November 2024   03:13 Diperbarui: 8 November 2024   07:18 49
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selain mempunyai aneka destinasi wisata populer, yang bahkan sudah mendunia, Bali juga mempunyai tarian daerah yang cukup terkenal, seperti tari kecak dan tari legong. Tari kecak bahkan sudah menjadi salah satu ikon pariwisata Bali, yang sudah terkenal di mancanegara.

Hanya saja, diantara beragam tarian Bali, Erawati (2020) menyebut, tari legong dianggap sebagai pembentuk jati diri tari Bali, karena diposisikan sebagai pijakan dasar dalam mempelajari tari Bali.

Bagi masyarakat Bali, tari Bali diidentikkan dengan tari legong. Berangkat dari sinilah, muncul ungkapan "menonton tari legong sama artinya dengan menonton tari Bali".

Sepintas, sebutan ini terdengar berlebihan, tetapi jejak perjalanan dan perkembangan tari legong menunjukkan, sebutan ini ada benarnya. Berbeda dengan tari kecak yang "berkelana" sampai ke mancanegara, tari legong justru "mengakar" di Bali.

Tarian yang mulai berkembang di abad ke 19 ini mengambil namanya dari dua kosakata bahasa Bali, yakni kata "leg" yang dalam bahasa Indonesia berarti luwes atau lentur, dan kata "gong" yang berarti gamelan.

Jadi, secara etimologis, atau berdasarkan asal katanya, legong berarti gerakan luwes yang ritmenya bersinergi harmonis dengan iringan instrumen musik gamelan Bali.

Sesuai asal katanya, Sudewi et.al (2019) menyebut, tarian yang disebut juga legong keraton ini mengusung konsep perpaduan estetika bentuk dan struktur, yang secara
keseluruhan disebut seni palegongan.

Satu ciri khas konsep ini adalah adanya dua penari putri berbusana kembar. Selain itu, seluruh rangkaian gerak tari mengolah dan menggunakan properti kipas.

Sesuai namanya, tari legong keraton awalnya hanya dipentaskan secara eksklusif di keraton atau istana. Pentas khusus ini biasanya digelar dalam rangka acara pertunjukan seni kerajaan atau ritual keagamaan.

Seiring berakhirnya era kerajaan di Bali, era kolonial, dan terus berlanjut sampai era globalisasi, sisi eksklusif ini lalu berubah menjadi inklusif. Erawati (2021) menyebut,tari legong berkembang
menjadi seni hiburan di ruang publik, yang dapat dinikmati masyarakat luas.

Inklusivitas ini, pada akhirnya memberi ruang bebas bagi seniman Bali, untuk menciptakan beragam tari kreasi legong, seperti legong pengider, legong buwuk, legong ngewayang, dan legong calonarang.

Dari tari legong juga, muncul kreasi tari kebyar, yang dianggap sebagai "adik" tari legong. Tarian ini mulai muncul di awal abad ke 20, dan bersama tari legong banyak menginspirasi hadirnya beragam tarian kreasi di Bali.

Salah satu hasil kreasi tari kebyar yang cukup terkenal adalah tari kebyar duduk. Tarian ini diciptakan I Ketut Marya (1897-1968), salah satu maestro tari Bali pada tahun 1925.

Dengan rekam jejaknya, tarian hasil kreasi Anak Agung Gede Rai Perit dan I Dewa Ketut Belacing ini menjadi satu contoh unik pelestarian budaya di Indonesia. Meski tak sampai ke mancanegara seperti tari kecak, tari legong dapat terus bertahan di rumah sendiri, bahkan berkembang dalam aneka bentuk kreasi, sesuai dinamika perubahan zaman.

Bonusnya, selain melestarikan warisan budaya dalam bentuk tarian, sisi adaptif tari legong juga dapat membantu eksistensi gamelan Bali tetap terjaga.

Sisi adaptif ini, seharusnya bisa juga diterapkan di daerah lain, khususnya pada seni tari dan instrumen musik tradisional. Dengan tetap berpegang pada kaidah seni yang berlaku, selama ruang berkreasi masih ada, sebuah tari klasik tidak akan pernah menjadi "usang" atau terlihat "kuno", karena bisa terus relevan dengan dinamika perubahan zaman, tanpa melupakan nilai luhur budaya Nusantara.

Referensi Jurnal:

Erawati, N. M. P. (2020). Estetika Tari Legong Sebuah Identitas Tari Bali. Widyadari, 21(2), 706-713.

Sudewi, N. N., Dana, I. W., & Arsana, I. N. C. (2019). Legong dan kebyar strategi kreatif penciptaan tari. Mudra Jurnal Seni Budaya, 34(3), 285-290.

Erawati, N. M. P. (2021). Transmisi Legong Dalam Paradigma Sekularisasi Di Bali. Widyadari, 22(1), 263-275.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun