Inklusivitas ini, pada akhirnya memberi ruang bebas bagi seniman Bali, untuk menciptakan beragam tari kreasi legong, seperti legong pengider, legong buwuk, legong ngewayang, dan legong calonarang.
Dari tari legong juga, muncul kreasi tari kebyar, yang dianggap sebagai "adik" tari legong. Tarian ini mulai muncul di awal abad ke 20, dan bersama tari legong banyak menginspirasi hadirnya beragam tarian kreasi di Bali.
Salah satu hasil kreasi tari kebyar yang cukup terkenal adalah tari kebyar duduk. Tarian ini diciptakan I Ketut Marya (1897-1968), salah satu maestro tari Bali pada tahun 1925.
Dengan rekam jejaknya, tarian hasil kreasi Anak Agung Gede Rai Perit dan I Dewa Ketut Belacing ini menjadi satu contoh unik pelestarian budaya di Indonesia. Meski tak sampai ke mancanegara seperti tari kecak, tari legong dapat terus bertahan di rumah sendiri, bahkan berkembang dalam aneka bentuk kreasi, sesuai dinamika perubahan zaman.
Bonusnya, selain melestarikan warisan budaya dalam bentuk tarian, sisi adaptif tari legong juga dapat membantu eksistensi gamelan Bali tetap terjaga.
Sisi adaptif ini, seharusnya bisa juga diterapkan di daerah lain, khususnya pada seni tari dan instrumen musik tradisional. Dengan tetap berpegang pada kaidah seni yang berlaku, selama ruang berkreasi masih ada, sebuah tari klasik tidak akan pernah menjadi "usang" atau terlihat "kuno", karena bisa terus relevan dengan dinamika perubahan zaman, tanpa melupakan nilai luhur budaya Nusantara.
Referensi Jurnal:
Erawati, N. M. P. (2020). Estetika Tari Legong Sebuah Identitas Tari Bali. Widyadari, 21(2), 706-713.
Sudewi, N. N., Dana, I. W., & Arsana, I. N. C. (2019). Legong dan kebyar strategi kreatif penciptaan tari. Mudra Jurnal Seni Budaya, 34(3), 285-290.
Erawati, N. M. P. (2021). Transmisi Legong Dalam Paradigma Sekularisasi Di Bali. Widyadari, 22(1), 263-275.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H