Bicara soal Manchester City, kebanyakan orang mungkin akan langsung menyebut, ini adalah tim yang sangat solid. Dengan sistem dan materi pemain kelas satu, Si Biru Langit telah menjadi satu tim yang sulit dicari celahnya.
Di bawah arahan Pep Guardiola yang terkenal perfeksionis dan detail, mereka tampak stabil dalam meraih prestasi. Saking stabilnya, Liga Inggris yang konon katanya kompetitif, malah jadi terlihat membosankan, karena 6 dari 7 gelar liga mampu diamankan.
Tapi, sehebat-hebatnya tupai melompat, ada saatnya jatuh juga. Begitu juga City, ada saatnya juga performa tim drop. Sekuat apapun sistem Pep Guardiola, ada saatnya masalah akibat "error system" terjadi.
Situasi ini terbilang langka, bahkan untuk standar tinggi pelatih asal Spanyol itu. Tapi begitulah yang terjadi di tiga partai terakhir. Dimulai dari sepasang kekalahan 1-2 atas Tottenham Hotspur dan Bournemouth di kompetisi domestik, "error system" City makin parah saat dihajar Sporting Lisbon 1-4 di ajang Liga Champions.
Sebenarnya, eks pelatih Barcelona itu pernah mengalami 3 kekalahan beruntun di tahun 2018 bersama Manchester Biru, tapi itu terjadi di paruh kedua musim, bukan periode paruh pertama.Â
Secara kasat mata, jadwal padat dan masalah cedera pemain menjadi biang kerok, karena membutuhkan tim tak bisa tampil maksimal. Masalahnya, dua hal ini dialami semua klub, khususnya di liga-liga top Eropa, jadi sebenarnya situasi ini masih relatif normal.
Jadwal superpadat klub juga merupakan satu fenomena rutin, dengan cedera pemain sebagai risiko umum. Sangat jarang ada pemain yang bebas cedera atau tak pernah absen sepanjang musim, sekalipun fisiknya sangat prima.
Jadi, ketika performa klub milik Sheikh Mansour ini menurun, jelas ada masalah serius, dan penyebabnya datang dari cedera ligamen lutut Rodri. Seperti diketahui, pemenang Ballon D'Or 2024 itu harus absen selama kurang lebih setahun, akibat cedera di laga melawan Arsenal.
Absensi ini membuat lini tengah City tak sesolid biasanya, dan sistem permainan ideal Pep Guardiola pun mengalami "error", yang terlihat makin parah di periode sibuk.
Tak ada lagi kestabilan, dan suplai bola ke depan pun macet. Akibatnya, Erling Haaland yang biasanya rajin mencetak gol mulai mengalami paceklik.