Belakangan, ada begitu banyak warung kopi lokal hadir di Indonesia, seiring naiknya tingkat konsumsi kopi di Indonesia. Warung kopi lokal ini juga didukung peralatan modern, fasilitas pendukung (termasuk WiFi gratis) dan tenaga ahli, seperti di warung kopi ala Amerika, dengan harga dan kualitas bersaing.
Alhasil, Indonesia yang memang sudah punya beragam jenis kopi dengan rasa unik seperti kopi Gayo, kopi Toraja, kopi Flores dan Kopi Luwak pun mulai menghidupkan lagi eksistensi warung kopi dengan sentuhan nuansa lokal, yang masih terus berkembang. Keberadaan warung kopi lokal ini cukup banyak membantu perkembangan industri kopi lokal di Indonesia.
Terlepas dari beragam pro-kontra soal kehadiran waralaba atau produk asing di Indonesia, termasuk waralaba warung kopi, ternyata tidak semuanya berdampak negatif.
Pada kasus warung kopi di Indonesia, kedatangan waralaba asing seperti Starbucks malah memicu berkembangnya industri warung kopi lokal, karena ada kesadaran soal betapa kayanya potensi kopi lokal, dan kuatnya budaya minum kopi di Indonesia.
Selebihnya, tinggal bagaimana potensi itu dioptimalkan, supaya dapat tetap relevan dengan dinamika tren yang berkembang.
Referensi Jurnal:
- Â Du Gray, P., Hall, S., Janes, L., Mackay, H., &
Negus, K. (1997). Doing Cultural
Studies: The Story of the Sony Walkman.
London: Open University/Sage.
- Farokhah, F. A., & Wardhana, A. S. (2017).
Cafe versus Warkop (Warung Kopi): The
Hegemony of Coffee Culture as TransCultural Encounters in Dewi Lestari's
Filosofi Kopi. Literary Studies
Conference 2017.
- Hall, S. (1997). Representation: Cultural
representation and signifying practices.
London: SAGE Publication Ltd.
- Hashim, N. H., Mamat, N. A., & Halim, N. A.
(2017). Coffee Culture Among
Generation Y. Pertanika J. Soc. Sci &
Hum. 25.
- Nurhasanah, S., & Dewi, C. (2019). The emergence of local coffee shops in Indonesia as a counter to American culture hegemony. Rubikon: Journal of Transnational American Studies, 6(1), 1-11.