Setelah hanya mencatat 1 kemenangan di 8 pertandingan terakhir, termasuk takluk 1-2 atas tuan rumah West Ham di Liga Inggris, akhir pekan lalu, akhirnya Manchester United memecat pelatih Erik Ten Hag, Senin (28/10).
Tentunya, ini adalah satu hal yang sudah cukup lama ditunggu Manchunian, karena selama masa tugasnya, terlalu banyak masalah dalam tim. Mulai dari masalah performa, disiplin sampai kekompakan
Awalnya, kiprah pelatih asal Belanda ini terlihat menjanjikan, karena sempat menampilkan ketegasan, yang sudah lama hilang di Old Trafford. Saking tegasnya, pemain sekelas Cristiano Ronaldo sampai berani didepak tanpa basa-basi.
Prospek cerah yang ada makin terlihat menjanjikan, karena pelatih berkepala plontos itu langsung membawa klub finis di papan atas Liga Inggris, plus juara Carabao Cup musim 2022-2023. Tak heran, jargon tsunami trofi pun bergema di kalangan suporter.
Masalahnya, prospek cerah ini langsung memburuk di tahun kedua, dan terlihat seperti pencitraan. Meski semua keinginannya tetap didukung penuh manajemen klub, baik dalam hal belanja pemain atau merekrut staf pelatih, kekacauan tetap tak terbendung.Â
Pemain juara Liga Champions seperti Casemiro saja terlihat seperti pemain kelas medioker. Konyolnya, kekacauan itu masih ditambah dengan transfer mahal tapi cenderung flop seperti Antony dan Rasmus Hojlund.
Apa boleh buat, bukannya tsunami trofi, seperti yang digembar-gemborkan, tsunami komedi-lah yang datang secara rutin. Saking parahnya, Setan Merah bahkan hampir saja absen di kompetisi antarklub Eropa, andai tak meraih gelar Piala FA di akhir musim 2023-2024.
Situasi semakin runyam di musim 2024-2025, karena performa Harry Maguire dkk tak juga membaik. Dua kekalahan 0-3 dari Liverpool dan Tottenham Hotspur di kandang sendiri, plus deretan hasil miring lainnya, benar-benar menunjukkan, seberapa parah level aktual Erik Ten Hag di Liga Inggris.
Meski sukses besar di Ajax Amsterdam dan juara piala domestik di MU, ETH tampak terlalu percaya diri dengan idenya, dan pada titik tertentu cenderung meremehkan lawan. Terbukti, idenya meng-Ajax-kan tim malah jadi bumerang.
Secara taktis, keputusannya memboyong eks pemain Ajax, yakni Lisandro Martinez, Antony, Andre Onana, Noussair Mazraoui dan Matthijs de Ligt memang menjadi satu langkah logis, karena seorang pelatih kadang butuh pemain yang sudah kenal betul dengannya. Ini bukan fenomena baru di sepak bola.
Masalahnya, ketika standar umum di Eredivisie Belanda diterapkan mentah-mentah di Liga Inggris, ini jelas kesalahan fatal. Di Belanda Ajax Amsterdam memang tim paling sukses, tapi di Inggris, situasinya jauh berbeda. Permainan jauh lebih intens, dan persaingan lebih dinamis.
Jadi, wajar kalau Erik Ten Hag keteteran dan akhirnya ditendang. Prestasi yang tak sesuai dengan borosnya belanja klub menjadi satu nilai minus fatal.
Sebagai langkah darurat, Manchester United untuk sementara menunjuk Ruud Van Nistelrooy sebagai pelatih, sampai pelatih baru datang. Tapi, dengan kondisi klub yang sedang melakukan upaya penghematan besar-besaran, akan sulit mengharapkan nama besar datang dalam waktu dekat.
Kalaupun ada nama baru, itu tak jauh dari nama-nama pelatih tanpa klub, seperti Gareth Southgate, Xavi, atau Ole Gunnar Solskjaer. Malah, bukan tak mungkin Ruud Van Nistelrooy ditunjuk sebagai pelatih tetap, jika kinerjanya oke.
Situasi ini menjadi buah kekacauan yang sudah ada sedekade terakhir, tepatnya sejak Sir Alex Ferguson pensiun. Terlepas dari sejarah dan nama besar klub di masa lalu, kekacauan yang ada saat ini pelan-pelan sudah menggiring mereka ke level medioker.
Jika tak ada perbaikan berarti, rasanya tak butuh waktu lama untuk melihat Manchester United benar-benar "nyaman" menjadi klub kelas medioker.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H