Judul di atas adalah satu pesan tersirat yang hadir, dari pertandingan El Clasico La Liga Spanyol, Minggu (27/10, dinihari WIB).
Secara luar biasa, Barcelona yang masih "bokek" secara finansial mampu meluluhlantakkan skuad mewah Real Madrid dengan skor 4-0 di Santiago Bernabeu. Sepasang gol Robert Lewandowski, plus masing-masing satu gol  Lamine Yamal dan Raphina menandai terbitnya fajar baru di tim Catalan.
Tak ada lagi tiki-taka yang selama bertahun-tahun jadi identitas tunggal kebanggaan klub. Di Madrid, Barca menjelma jadi tim yang lebih futuristik, karena bisa bermain taktis, tapi tak kehilangan sisi keindahan.
Sisi taktis tim asuhan Hansi Flick langsung terlihat, lewat strategi garis pertahanan tinggi plus, yang secara konsisten diterapkan. Strategi ini cukup bisa dimengerti, karena Real punya Vinicius dan Kylian Mbappe yang terkenal cepat dan gesit.
Los Blancos juga masih punya Jude Bellingham, yang musim lalu sangat moncer, tapi pemain Timnas Inggris itu sedang tampil melempem.
Dengan adanya pemain-pemain cepat yang terampil seperti itu, menugaskan satu-dua orang pemain secara khusus rawan jadi blunder. Maka, garis pertahanan tinggi menjadi solusi ideal, karena jebakan offside selalu bisa "menjerat" pemain-pemain dengan lari kencang secara kolektif.
Maka, tidak mengejutkan kalau Real Madrid sampai 12 kali terjebak offside, dengan Mbappe mendapat 8 diantaranya. Di saat Real Madrid buntu, strategi "serangan kilat" Barca mampu menggempur balik.
Setiap kali ada celah untuk menembak, disitu muncul peluang. Jadi, tidak mengejutkan kalau Blaugrana bisa membuat total 15 tembakan, dengan 9 diantaranya mengarah ke gawang.
Apesnya, pelatih Carlo Ancelotti gagal menciptakan kontrastrategi, karena tim asuhannya sudah terlanjur percaya diri, setelah mampu unggul secara permainan di babak pertama. Inilah yang akhirnya jadi bumerang.
Keyakinan Kylian Mbappe dkk justru membuat Robert Lewandowski dkk leluasa melakukan "blitzkrieg" seperti tank Panser, dan mencetak empat gol di babak kedua. Ini jelas bukan tipikal khas Barca, yang biasanya coba mendikte alur laga, dan cenderung berusaha unggul di setiap detail permainan sejak kick off.
Tapi, dengan perubahan ini, The Catalans  seperti mengucapkan "selamat tinggal" secara elegan pada tiki-taka versi klasik, yang dalam beberapa tahun terakhir telah menjadi satu titik lemah.
Hadirnya "fitur" transisi cepat, efektivitas, dan talenta-talenta muda, menjadikan kemenangan 4-0 di markas rival bebuyutan seperti momen "pengumuman resmi" mekarnya versi baru Azulgrana yang lebih futuristik.
Sebelumnya, klub yang masih berjuang keluar dari krisis keuangan ini juga menggasak Bayern Munich 4-1 di ajang Liga Champions. Tapi, kemenangan di El Clasico juga menjadikan bulan Oktober sebagai momen aktifnya "mode bantai" Barca bersama Hansi Flick.
Seperti diketahui, selain menggasak Bayern Munich dan Real Madrid, pemuncak klasemen sementara La Liga Spanyol ini juga membantai Young Boys (5-0), Alaves (3-0) dan Sevilla (5-1).
Jika grafik performa ini bisa dijaga, rasanya Barcelona bisa "move on" lebih cepat dari bayang-bayang "legenda" tiki-taka versi klasik, sekaligus menyambut masa depan, yang (seharusnya) tidak akan seburuk itu, karena mereka punya talenta-talenta potensial seperti Lamine Yamal, Pau Cubarsi, Gavi, Pedri, sampai Inaki Pena.
Praktis, kita hanya perlu melihat, apakah kemenangan di Bernabeu adalah puncak performa tim atau bukan. Kalau bukan, rasanya "mode bokek" El Barca di sektor  finansial akan berakhir dalam waktu dekat, karena ada rangkaian prestasi lebih besar yang akan dicapai.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H