Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Hobby Artikel Utama

Sekotak Memori dalam Buku Komik

25 Oktober 2024   20:16 Diperbarui: 27 Oktober 2024   12:38 270
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi buku komilk (Sumber: Gramedia)

Di era kekinian, khususnya di Indonesia, keberadaan komik digital menjadi satu fenomena umum. Berkat kepraktisannya, membeli dan menyimpan koleksi komik tak lagi serepot memiliki buku versi cetak. 

Tak perlu lagi repot membeli rak buku atau merawat buku, komik digital bisa tetap awet berada dalam kondisi terbaik, selama ruang penyimpanan di perangkat kita cukup. 

Untuk membacanya, kita cukup membuka berkas di perangkat. Kapan saja, di mana saja, semua bisa dilakukan dan ada dalam genggaman.

Berkat kemajuan teknologi juga, harga satu set seri komik digital relatif jauh lebih murah dari versi cetak. Alhasil, komik fisik pelan-pelan menjelma jadi barang antik, yang tentu saja punya segmen pasar khusus.

(Dokpri)
(Dokpri)

Meski terkesan kuno, buku komik versi cetak sebenarnya adalah satu medium unik. Ia tidak hanya "merekam" cerita dalam urutan gambar dan balon dialog, tapi juga ikut mendokumentasikan tren atau situasi yang terjadi, khususnya saat buku komik itu dicetak.

Sebagai contoh, pada foto di atas, penulis memotret tampilan cover belakang empat judul komik berbeda, yakni Kung Fu Boy (Manga Jepang), Mundinglaya (Indonesia), Full House, dan Goong (Manhwa Korea Selatan, yang belakangan diadaptasi menjadi drakor Full House dan Princess Hours, yang populer di era 2000-an).

Saya masih ingat, keempat komik ini datang dalam kondisi berbeda. Ada yang dibeli dalam kondisi baru, dan ada juga yang dibeli dalam kondisi bekas, masing-masing dibeli pada era 2000-an dan 2010-an. Uniknya, dari label harga pada keempat buku ini, ada satu jejak "rekaman perjalanan" harga buku komik di Indonesia, dari masa ke masa. 

(Dokpri)
(Dokpri)

Pada buku komik Kung Fu Boy, yang dicetak pada awal tahun 1990-an, label harga yang tertera pada bagian belakang menunjukkan angka 3.000 rupiah. Harga itu lalu berubah menjadi 8.500 rupiah pada awal tahun 2000-an, seperti yang tertera pada label harga di komik Mundinglaya.

Di akhir tahun 2000-an, harga itu berubah lagi menjadi 12.000 rupiah, dan naik lagi menjadi 17.500 rupiah di tahun 2010-an. Dengan tren pergerakan harga seperti itu, tidak mengejutkan kalau di tahun 2020 ke atas, harga satu buku komik berada di kisaran 25-30 ribu rupiah, dan masih akan naik lagi di masa depan. 

Meski sepintas terlihat remeh, ragam harga ini menunjukkan, seberapa jauh perjalanan inflasi (dan aneka faktor lainnya) memengaruhi daya beli masyarakat. 

Kita juga bisa melihat bersama, seberapa jauh perbedaan "bobot nilai" uang 100 ribu rupiah dari masa ke masa. Dari yang terlihat "gagah perkasa" di awal tahun 1990-an, menjadi "cukup kuat" di tahun 2000-an, sebelum akhirnya mulai terlihat "biasa saja" sejak tahun 2010-an.

Jadi, jika ada yang masih menganggap inflasi itu ilusi, perjalanan harga komik cetak di Indonesia ini adalah contoh bantahan valid paling relevan yang bisa kita lihat langsung. 

(Dokpri)
(Dokpri)

Dari buku komik cetak juga, kita bisa melihat bersama, ada pergeseran tren bentuk dan gaya jilid, sesuai perilaku umum pembaca pada masanya.

Ada masanya komik punya elemen cover sampul berwarna dan cover dalam "minim" warna, yang berfungsi menjaga buku tetap awet. Ada masanya juga komik hanya mengandalkan satu elemen cover berwarna tanpa sampul, yang membuat tren penggunaan sampul plastik meteran/lembaran. 

Selain urusan inflasi, sebuah label harga kadang juga "merekam" jejak eksistensi sebuah toko buku pada masanya, dan menjadi satu catatan sejarah unik.

(Dokpri)
(Dokpri)

Sebagai contoh, pada label harga buku komik Mundinglaya, terdapat tulisan "Toko Gunung Agung". Tulisan ini lalu menjadi satu elemen memori unik, khususnya setelah toko buku legendaris tersebut "tutup buku" di akhir tahun 2023.

Dari buku komik cetak juga, terdapat satu jejak perjalanan tren bentuk jilid buku komik, khususnya di Indonesia, tepatnya sebelum era komik digital. 

Dari klasik (depan ke belakang) ke modern (belakang ke depan, ada juga yang menyebutnya sebagai "format jilid ala Jepang) perubahan itu semakin unik, karena membawa serta elemen desain grafis yang semakin kompleks. 

Uniknya, kerumitan yang semakin berkembang itu pada akhirnya kembali lagi ke titik simplifikasi, ketika komik digital muncul, dan fokus pada aspek estetika dan cerita, bukan lagi keawetan.

(Dokpri)
(Dokpri)

Seiring berjalannya waktu dan makin berkembangnya tren komik digital, mungkin jejak "rekaman" waktu komik cetak akan semakin pudar di masa depan, tapi, kita (yang pernah menikmati era komik cetak) tetap layak bersyukur.

Pernah ada masa, di mana tidak ada rasa khawatir mata cepat "lelah", atau perangkat kehabisan daya saat membaca komik.

Pada masanya, komik cetak telah menjadi satu "alat perekam" jejak inflasi, yang membuat generasi muda sadar soal ekonomi, tanpa harus melihat berita di media. Waktu terus berjalan, angka nominal tetap sama, tapi nilainya selalu berubah. 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun