Di akhir tahun 2000-an, harga itu berubah lagi menjadi 12.000 rupiah, dan naik lagi menjadi 17.500 rupiah di tahun 2010-an. Dengan tren pergerakan harga seperti itu, tidak mengejutkan kalau di tahun 2020 ke atas, harga satu buku komik berada di kisaran 25-30 ribu rupiah, dan masih akan naik lagi di masa depan.Â
Meski sepintas terlihat remeh, ragam harga ini menunjukkan, seberapa jauh perjalanan inflasi (dan aneka faktor lainnya) memengaruhi daya beli masyarakat.Â
Kita juga bisa melihat bersama, seberapa jauh perbedaan "bobot nilai" uang 100 ribu rupiah dari masa ke masa. Dari yang terlihat "gagah perkasa" di awal tahun 1990-an, menjadi "cukup kuat" di tahun 2000-an, sebelum akhirnya mulai terlihat "biasa saja" sejak tahun 2010-an.
Jadi, jika ada yang masih menganggap inflasi itu ilusi, perjalanan harga komik cetak di Indonesia ini adalah contoh bantahan valid paling relevan yang bisa kita lihat langsung.Â
Dari buku komik cetak juga, kita bisa melihat bersama, ada pergeseran tren bentuk dan gaya jilid, sesuai perilaku umum pembaca pada masanya.
Ada masanya komik punya elemen cover sampul berwarna dan cover dalam "minim" warna, yang berfungsi menjaga buku tetap awet. Ada masanya juga komik hanya mengandalkan satu elemen cover berwarna tanpa sampul, yang membuat tren penggunaan sampul plastik meteran/lembaran.Â
Selain urusan inflasi, sebuah label harga kadang juga "merekam" jejak eksistensi sebuah toko buku pada masanya, dan menjadi satu catatan sejarah unik.
Sebagai contoh, pada label harga buku komik Mundinglaya, terdapat tulisan "Toko Gunung Agung". Tulisan ini lalu menjadi satu elemen memori unik, khususnya setelah toko buku legendaris tersebut "tutup buku" di akhir tahun 2023.
Dari buku komik cetak juga, terdapat satu jejak perjalanan tren bentuk jilid buku komik, khususnya di Indonesia, tepatnya sebelum era komik digital.Â