Jadi, selain menghadirkan fleksibilitas, kemajuan teknologi membuat sisi inklusif dalam menulis jadi lebih nyata, karena mampu mengurangi gap akibat kekurangan fisik pada prosesnya.
Meski belum sampai bisa secepat mereka yang "normal" secara fisik, kemajuan teknologi ini sudah sangat membantu. Sensasi seperti "mimpi buruk" saat menulis huruf per huruf di laptop pun bisa mulai dilupakan.
Jadi, bukan hal aneh jika selama perjalanan ber-Kompasiana, sebagian besar tulisan saya di sini ditulis di ponsel, bukan laptop. Inilah satu buah manis kemajuan teknologi, karena membuat kekurangan fisik tak lagi jadi satu hal menyeramkan.
Memang, hal pertama yang dilihat dan disukai dari sebuah tulisan adalah isi tulisannya, bukan siapa sosok penulisnya. Tapi, hal-hal yang ada di baliknya, termasuk proses dan "bantuan" fleksibilitas teknologi kadang membuatnya terasa lebih unik dan berwarna.
Terlepas dari silang sengkarut yang ada, sisi fleksibel dan inklusif menulis seharusnya tetap bisa menjaga sisi menyenangkan dari menulis itu sendiri.
Berbakat atau tidak, apapun alat bantu dan kondisinya, menulis bisa dilakukan, tanpa harus merasa takut atau malu dengan keadaan atau kemampuan diri, karena menulis adalah satu proses "menemukan diri".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H