Judul di atas adalah satu kesimpulan yang muncul, seiring performa Timnas Indonesia di lanjutan babak ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia, pada jeda internasional FIFA bulan Oktober 2024. Seperti diketahui, Tim Garuda bermain imbang 2-2 di markas Bahrain, dan takluk 1-2 di kandang Tiongkok.
Terlepas dari kontroversi keputusan wasit saat menghadapi Bahrain, jujur saja, performa di lapangan (sejauh ini) menunjukkan, tim asuhan Shin Tae-yong masih belum terbiasa bersaing di level Asia.
Secara permainan, memang ada kemajuan demi kemajuan. Tidak ada lagi masalah stamina kedodoran, bahkan mulai bisa memegang kendali permainan. Padahal, level lawan yang dihadapi sudah kelas Asia, bukan Asia Tenggara.
Masalahnya, tim ini masih terlalu "lugu" dalam menghadapi strategi "nakal" tim lawan. Hasilnya, Jay Idzes dkk kecolongan di Bahrain, dan kerap kehilangan momentum di Negeri Panda.
Memang, mereka mampu mengimbangi fisikalitas pemain Arab Saudi dan Australia, tapi kelebihan ini masih akan diuji lagi saat bertemu Jepang.
Boleh dibilang, setelah tak lagi menemui masalah elementer seperti pola makan dan teknik mengoper bola, tingkat kesulitannya sudah naik level, karena sudah memaksa lawan bermain nakal.
Seharusnya, ini menjadi satu "kenaikan kelas" yang pantas dipuji, tapi sisi "lugu" yang masih cukup pekat, membuat Tim Merah Putih masih punya PR yang harus diselesaikan.
Disadari atau tidak, keluguan ini sudah membuat tim susah fokus saat harus fokus. Terbukti, saat seharusnya bisa fokus di Qingdao, Timnas Indonesia masih belum sepenuhnya bisa "move on" dari insiden yang terjadi di Bahrain.
Akibatnya, meski unggul secara permainan atas Tim Naga, wakil tunggal Asia Tenggara inj akhirnya tumbang 1-2, akibat kecolongan dua gol di babak pertama. Meski Thom Haye sempat mencetak gol di menit-menit akhir jelang waktu normal selesai, semua sudah terlambat.
Dengan level fokus seperti ini, Indonesia jelas belum cukup kuat, untuk bisa bersaing mengejar tiket lolos ke Piala Dunia 2026. Jangankan menang, belajar fokus dari laga ke laga (khususnya di partai  tandang) saja masih belum lancar.
Satu masalah lagi yang jadi catatan, ada pada kondisi rumput di Stadion Gelora Bung Karno. Dari empat laga yang sudah dimainkan, Timnas Indonesia terlihat paling menderita saat bermain di kandang sendiri.
Akibat kondisi rumput yang tidak prima, aliran bola tidak lancar, skema permainan pun kacau. Jangankan mencetak gol, operan bola saja masih tersendat. Inilah yang membuat laga melawan Australia di GBK masih menjadi catatan negatif dari segi permainan, meski berakhir imbang tanpa gol.
Ironisnya, para pemain malah terlihat nyaman saat bermain di kandang lawan, karena kondisi rumput yang prima. Kalau kondisi GBK masih tidak prima, partai kandang akan jadi batu sandungan buat tim.
Padahal, partai kandang biasanya menjadi senjata andalan sebuah tim untuk mendulang poin, kalau ternyata jadi hambatan, lolos ke Piala Dunia 2026 masih jadi satu mimpi tingkat tinggi.
Di sisi lain, hasil imbang di Bahrain dan kekalahan di Negeri Tirai Bambu seharusnya menjadi peringatan keras bagi publik sepak bola nasional, untuk tidak bermimpi terlalu tinggi, karena Timnas Indonesia ibarat katak yang baru pertama kali keluar dari tempurung di level Asia Tenggara, setelah bertahun-tahun terkungkung di sana.
Masih belum ada tempat untuk "prediksi rasa ekspektasi", sebelum tim ini bisa konsisten menjadi pesaing di level Asia. Jadi, sampai saat itu tiba, kita hanya perlu menikmati aksi dan progres tim di lapangan, tanpa memberi beban terlalu besar.
Jangan lupa, di babak kualifikasi kali ini, PSSI hanya memasang target masuk peringkat 100 besar FIFA, bukan lolos ke Piala Dunia 2026, karena Indonesia sudah lolos otomatis ke Piala Asia 2027.
Bisa?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI