Dua kekalahan di tiga laga kandang. Begitulah gambaran performa Manchester United di Old Trafford, dalam 6 pertandingan awal Liga Inggris musim 2024-2025.
Untuk ukuran klub seperti mereka, catatan ini terbilang mengenaskan, dan semakin mengenaskan, karena dalam 3 laga itu terdapat 2 kekalahan 0-3 atas Liverpool dan Tottenham Hotspur. Catatan ini praktis menenggelamkan kemenangan 1-0 atas Fulham di laga pekan pembuka.
Dengan start sejeblok ini, wajar jika Manchunian mulai mempertanyakan kelayakan Erik Ten Hag sebagai pelatih. Sudah belanja pemain jor-joran dan merombak tim sesuai keinginan, tapi performa tim jauh panggang dari api.
Memang, setelah kekalahan 0-3 atas Spurs akhir pekan lalu, pertanyaan soal potensi pergantian pelatih terus bergulir di media sosial. ETH dinilai sudah gagal total, khususnya di Liga Inggris.
Kalaupun ada kemajuan, pelatih asal Belanda ini mampu meraih gelar Carabao Cup, dan Piala FA. Kemenangan di Piala FA musim 2023-2024 lalu atas Manchester City bahkan menjadi alasan manajemen klub mempertahankan sang pelatih.
Memang, prestasi di piala domestik bisa menjadi satu indikasi kemajuan. Masalahnya, jika level performa tim cenderung medioker, khususnya di liga, kemajuan ini hanyalah bersifat semu.
Pada titik ekstrem, kemajuan semu ini akan menjadi satu indikasi kekacauan di dalam tim, karena tak ada kemajuan nyata. Â Tidak ada juga kekompakan layaknya sebuah tim.
Ada kontrol dan ketegasan, tapi itu hanya terlihat sebagai satu pencitraan, karena tidak benar-benar berdampak positif pada performa tim.
Di Liga Inggris, MU era Ten Hag hanya terlihat bagus di tahun pertama, itupun karena performa Liverpool anjlok di musim 2022-2023. Selebihnya, medioker.
Tapi, kepercayaan manajemen klub, ditambah "keyakinan tingkat tinggi" sang pelatih, menjadi satu kombinasi absurd, yang membuat kemajuan semu Setan Merah bersama eks pelatih Ajax Amsterdam itu diterima begitu saja.