Terlepas dari pro-kontra yang ada, fakta sudah membuktikan, untuk pertama kalinya sepanjang sejarah di Indonesia, anak sulung dari seorang Presiden yang masih menjabat, terpilih sebagai Wakil Presiden di periode berikutnya, dan pada saat hampir bersamaan, anak bungsu sang Presiden juga diangkat menjadi ketua umum partai politik.
Rangkaian fenomena ini jadi sebuah ironi, karena sosok yang dianggap "buah reformasi" malah memakan pohonnya sendiri.
Apa boleh buat, semua kekaguman dan respek yang sudah terbangun di masyarakat, pelan-pelan berbalik menjadi rasa tidak suka yang jauh lebih pekat.
Sebuah pelajaran mahal tentang tak bergunanya fanatisme berat pada figur politisi tertentu, karena yang pasti konsisten dalam politik hanya kepentingan.
Entah kebetulan atau bukan, sisi spiritual jabatan presiden ini seperti mampu membalik tanpa ampun berbagai hal yang sudah dibangun sejak lama, segera setelah daya tahan sang pemangku goyah.
Maka, tidak mengejutkan kalau penghujung masa tugas Jokowi sebagai Presiden malah terasa gaduh. Padahal, periode menjelang pensiun seperti ini biasanya sangat rileks.
Soal bagaimana penilaian publik pada kinerja eks Gubernur DKI Jakarta itu sebagai Presiden, tentu akan menghadirkan beragam perspektif.
Tapi, eksistensi Joko Widodo dan keluarga di kancah politik nasional membuktikan secara lugas. Jabatan Presiden bukan untuk sembarang orang, karena orang yang terlihat biasa saja kadang punya kejutan tak terduga.
Berangkat dari situ, sudah seharusnya kita lebih waspada, saat ada calon pemimpin yang tampak terlalu sederhana dari luar. Kita tidak pernah tahu apa yang ada di balik layar, karena itulah sikap waspada itu penting.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H