Pada era kekinian, iklan lowongan kerja bertebaran bak kacang goreng di berbagai aplikasi. Saking banyaknya pilihan, kadang kemudahan ini malah menyulitkan.
Celakanya, kesulitan ini makin lengkap, karena syarat kriterianya begitu rumit. Dari batas usia, pendidikan, tinggi badan, pengalaman kerja, sampai kemampuan yang (kalau bisa) serba bisa dan serbaguna, situasinya jadi absurd.
Ini mencari tenaga kerja manusia atau makhluk halus?
Ini baru pada kandidat yang sehat dan normal secara fisik, karena difabel sering lebih dulu kena filter syarat "sehat jasmani dan rohani".
Dengan syarat serumit itu, iklan lowongan kerja lebih mirip syarat sesajen atau sejenisnya.
Belakangan, kredibilitas situs lowongan kerja juga semakin rusak, karena iklan yang dipasang biasa muncul dan hilang semaunya.
Tidak ada kejelasan atau kepastian, tapi ironisnya, para pemberi kerja malah menuntut kandidat dengan kepastian, dan akan merasa paling tersakiti kalau ada yang menolak atau hanya bertahan sebentar.
Dengan perilaku seperti ini, wajar kalau iklan lowongan kerja kadang terlihat seperti informasi bohong, dengan "ghosting" sebagai perilaku umum. Itu belum termasuk budaya rekrutmen jalur orang dalam.
Kerusakan kredibilitas itu juga semakin parah, karena iklan lowongan kerja palsu juga bermunculan, dalam modus penipuan lowongan kerja. Syaratnya sepintas tidak rumit, tawaran gaji besar, tapi kerumitan tetap akan menjerat setelahnya.
Pada titik ekstrem, ini bahkan menjadi pintu masuk kejahatan "human trafficking", seperti yang pernah terjadi pada WNI di Myanmar dan Kamboja beberapa waktu lalu.
Dengan modus kesempatan kerja di luar negeri, mereka pada akhirnya malah dipaksa menjadi "scammer", dan sempat tak bisa pulang.
Ada juga perusahaan nakal yang mendapat info kontak kita, dan secara tiba-tiba menawari pekerjaan, padahal kita tidak mengirim berkas lowongan apapun ke sana. Tahu ada lowongan saja tidak.
Untuk kasus ini, saya pernah dua kali mengalami pada masa pandemi, 3-4 tahun silam. Secara tiba-tiba, ada dua perusahaan mengontak saya dan menawari pekerjaan.
Satu perusahaan, yang beralamat di Thailand, menawari pekerjaan sebagai tenaga administrasi perusahaan, tapi tidak pernah saya respon, karena waktu itu memang sedang ada larangan bepergian ke luar negeri akibat pandemi.
Belakangan, setelah kasus "scammer" terkuak, saya mendapati bahwa lowongan kerja yang saya diamkan itu penipuan.
Salah satu modusnya, kandidat ditawari kerja di Thailand, tapi sesampainya di sana, akan dikirim ke wilayah negara tetangga, seperti Kamboja atau Vietnam.
Pada kasus kedua, saya tiba-tiba ditelepon sebuah perusahaan pialang berjangka komoditi di Jakarta. Tapi setelah saya cek, ternyata itu perusahaan investasi bodong, dan saya pun tak menggubrisnya.
Tingkat kecurigaan saya waktu itu makin kuat, karena saat ditelepon pertama kali, mereka sudah langsung bertanya, apakah saya bisa langsung bekerja besok atau tidak.
Di sini, satu tanda "red flag" sudah terlihat: tingkat pergantian karyawan mereka lumayan tinggi, dan itu rawan menciptakan lingkungan kerja tidak sehat.
Berangkat dari dua pengalaman ini, plus sejumlah pengalaman kena ghosting dan kena filter syarat "sehat jasmani rohani", saya (dan mungkin banyak orang lain di sekitar) pada akhirnya malah dipaksa melihat sebuah ironi.
Iklan lowongan kerja di era digital memang banyak, tapi menjadi absurd karena syaratnya kadang terlalu "sempurna". Sebaliknya, ketika syaratnya mudah, itu rawan jadi pintu masuk penipuan dan tindak kejahatan lain.
Memang, selalu ada tuntutan untuk meningkatkan kemampuan dan memperbarui CV, tapi dengan perilaku negatif dan kerawanan seperti itu seharusnya juga jadi catatan untuk diperbaiki.
Akan tidak adil kalau perusahaan atau pemberi kerja menuntut kesempurnaan, tapi perilaku masih seenaknya. Apalagi, kalau tenaga kerja hanya dilihat sebagai komponen yang bisa diganti semaunya, bukan sebagai manusia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H