Mentalitas ini menjadi satu kebiasaan khas di event olahraga nasional, yang juga membudaya juga di level Asia Tenggara bahkan Asia. Hasilnya, setiap kali Indonesia jadi tuan rumah SEA Games atau Asian Games, performanya terlihat keren, tapi itu semua hilang saat gantian jadi tamu.
Mentalitas "jago kandang" ini memang jadi satu penyakit yang melemahkan, dan di PON 2024, itu terbukti berdampak merusak. Atlet yang seharusnya fokus menjunjung sikap sportif malah diracuni dengan tekanan "harus menang" yang tidak sehat.
Andai skandal keputusan kontroversial wasit di cabor sepak bola tidak viral pun, ini tetap akan menciptakan satu budaya tidak sehat. Kalau budaya dan perilakunya saja jelek, jangan harap kualitas atletnya bagus. Apalagi kalau si atlet sudah naik level, misalnya mewakili Indonesia di SEA Games, apalagi Asian Games atau Olimpiade.
Berangkat dari pengalaman di PON Aceh dan Sumatera Utara, Kemenpora, KONI dan pihak-pihak terkait perlu mengevaluasi ulang segala aspek. Dari perencanaan, kualitas infrastruktur, perwasitan, sampai asupan gizi atlet, semuanya harus punya standar baku yang tidak boleh ditawar.
Apapun alasannya, kalau kualitas event sekelas PON malah berada di bawah turnamen antarkampung (tarkam) itu sudah sangat memalukan. Jangan lupa, ini rutin disiarkan langsung di televisi nasional, dan dilihat masyarakat se-Indonesia.
Jadi, setelah kacau balau di edisi 2024, minimal ada perbaikan di edisi-edisi "tuan rumah bersama" berikutnya, supaya PON benar-benar mampu menjaring atlet berkualitas, bukan sebatas "arisan olahraga" yang secara bergilir menjadikan tuan rumah juara umum.
Bisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H