Pekan Olahraga Nasional (PON) biasanya menjadi satu ajang pesta olahraga yang menarik. Maklum, selain menampilkan banyak atlet muda, penyelenggaraan yang biasa digilir di setiap provinsi seluruh Indonesia juga menawarkan potensi daya tarik wisata, termasuk yang berbasis kearifan lokal.
Untuk PON edisi 2024, keunikan itu bertambah, karena untuk pertama kalinya sepanjang sejarah, event empat tahunan ini dihelat di dua provinsi, yakni Aceh dan Sumatera Utara.
Edisi ini menjadi "perintis" PON berformat tuan rumah bersama, karena PON edisi 2028 dan 2032 akan menggunakan format serupa, dengan duet Nusa Tenggara Barat-Nusa Tenggara Timur dan Sulawesi Selatan-Sulawesi Barat sebagai tuan rumah.
Sepintas, format ini bisa membuat pesta olahraga nasional lebih semarak, karena cakupan wilayah tuan rumahnya lebih luas. Seharusnya, dari segi kualitas penyelenggaraan juga bisa lebih oke, karena beban biayanya tak lagi ditanggung sendirian.
Kalau setiap provinsi sudah punya fasilitas atau keunggulan di cabang olahraga tertentu, penyelenggaraan PON di Aceh dan Sumatera Utara seharusnya bisa jadi percontohan ideal untuk edisi berikutnya. Dengan catatan, kalau sukses besar dalam arti positif.
Masalahnya, PON 2024 malah menjadi satu panggung yang cukup kacau di berbagai aspek. Persiapan tidak maksimal, kualitas venue dan konsumsi atlet tidak memadai, sampai kualitas wasit bermasalah.
Viralnya skandal keputusan kontroversial wasit di cabor sepak bola dan tinju (yang sama-sama diduga memihak tim dan atlet provinsi tuan rumah) bak membuka kotak pandora. Setelahnya, semua hadir susul menyusul, bahkan viral di sejumlah momen, antara lain karena disiarkan langsung di televisi.
Ada susu yang diganti santan olahan pabrik kemasan mini, ada juga venue yang atapnya bocor atau belum jadi, Untuk event olahraga multicabang tingkat nasional, kualitas seperti ini benar-benar payah. Meski ada dua provinsi jadi tuan rumah, koordinasinya terlalu kacau.
Ditambah lagi, penyelenggaraan event olahraga seperti ini kadang masih diwarnai "previlese perlakuan khusus" untuk tuan rumah. Pada titik ekstrem, previlese ini menghasilkan mentalitas tidak sehat: tuan rumah (minimal) dapat medali, kalau bisa tidak (boleh) kalah.
Apa boleh buat, tim yang menghadapi tim tuan rumah jadi punya beban terlalu berat. Kalau menang rawan kena amuk suporter dan ofisial tuan rumah, kalau berusaha maksimal rawan dikerjai wasit. Serba salah.