Kalau ditelusuri lagi, sebenarnya ini bukan fenomena baru. Negara-negara Afrika bahkan sudah lebih dulu "berburu" pemain diaspora di luar negeri, khususnya di Eropa, demi membangun tim nasional yang kuat, meski kualitas liga domestik mereka cenderung stagnan.
Contoh paling gres dan sukses dari strategi ini hadir di RMFF (PSSI-nya Maroko), yang aktif berburu pemain diaspora Maroko di Eropa. Hasilnya, pemain-pemain seperti Achraf Hakimi dan Brahim Diaz (kelahiran Spanyol) plus Noussair Mazraoui dan Hakim Ziyech (kelahiran Belanda) pun bergabung.
Ditambah talenta lokal, termasuk yang "abroad" (kebanyakan ke Eropa) kombinasi pemain lokal dan diaspora ini sukses melaju ke semifinal Piala Dunia 2022 dan meraih medali perunggu di Olimpiade 2024.Â
Prestasi ini menjadi makin spesial, karena Maroko menjadi negara Afrika pertama yang lolos ke semifinal Piala Dunia dan Olimpiade. Jadi, wajar kalau rombongan Timnas Maroko disambut meriah, bahkan dibanggakan di Afrika, sekembalinya dari turnamen.
Dengan hasil sehebat itu, tentu sudah kelihatan, seberapa menarik pemain diaspora, dalam posisinya sebagai satu potensi nyata, jika digarap serius. Mereka ada, sudah jadi, punya nasionalisme, dan memang punya jejak garis keturunan.
Maka, ketika PSSI akhirnya mau menggarap potensi pemain diaspora Indonesia di luar negeri, dengan kriteria standar kualitas yang baku, ini adalah satu kemajuan.Â
Setelah puluhan tahun termakan delusi potensi, yang diperparah dengan gaya pemberitaan cenderung "overproud" tapi kering kreativitas, tentang pemain diaspora Indonesia di luar negeri, seperti Gio Van Bronckhorst (Belanda) dan Radja Nainggolan (Belgia) akhirnya ada langkah-langkah nyata yang bisa dilakukan.
Jadi, agak aneh ketika masih ada pihak yang nyinyir. Di lapangan hijau, para pemain diaspora sudah terbukti mampu menaikkan level performa Timnas Indonesia. Tim yang biasanya jadi sasaran tembak Thailand dan Vietnam di Asia Tenggara mampu membendung Arab Saudi dan Australia, dua tim raksasa Asia, di Kualifikasi Piala Dunia.
Mungkin inilah satu sisi ironis dari keberadaan pemain diaspora Indonesia di Timnas Indonesia. Mereka adalah satu potensi nyata yang akhirnya digarap serius, tapi malah kena nyinyir pemuja "lokal pride" dan sejenisnya.Â
Lucunya, orang-orang yang nyinyir ini kadang tanpa malu malah akan coba mendompleng, saat ada prestasi besar. Jadi, tidak mengejutkan kalau mereka nanti berusaha tampil paling depan, andai Justin Hubner dkk mampu lolos ke Piala Dunia 2026.Â