Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Pemain Diaspora, Sebuah Ironi dalam Potensi

16 September 2024   08:44 Diperbarui: 16 September 2024   13:12 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bicara soal sepak bola nasional, potensi menjadi satu kata yang banyak disebut. Selama puluhan tahun, kata satu ini seperti jadi semacam mantra penjaga harapan dan mimpi mengejar prestasi.

Benar, potensi itu ada, tapi serba seadanya. Sekalipun ada pemain berbakat di atas rata-rata, bakat itu tak digarap sebagaimana mestinya.

Tidak ada sistem pembinaan pemain muda yang mumpuni, dan itu diperparah dengan segudang masalah klasik seperti pemain titipan, pemalsuan umur, pengaturan skor, dan tata kelola yang bobrok. 

Jadi, normal kalau pemain lokal paling berbakat sekalipun banyak yang mentok di level domestik. Masih sedikit yang bisa eksis di level Asia Tenggara, apalagi Asia dan Eropa, sebagai pemain reguler. Banyak juga yang layu sebelum berkembang, meski punya prospek cerah di level junior.

Dari Bambang Pamungkas ke Boaz Solossa lanjut ke Okto Maniani, dari Syamsir Alam ke Bagus Kahfi, cerita itu terus berlanjut dari generasi ke generasi. Gambar suram itu makin lengkap, karena kebobrokan yang ada tak pernah benar-benar dibenahi.

Ketika kebobrokan ini menghasilkan stagnasi dan kemunduran, potensi alternatif yang lebih masuk akal untuk digarap pun dilirik. Dalam konteks PSSI di era Erick Thohir, potensi realistis ini ada di pemain diaspora Indonesia di luar negeri, yang ternyata cukup melimpah dan benar-benar ada. 

Di era modern, keberadaan diaspora menjadi satu hal umum, karena migrasi dan pernikahan "internasional" sudah terjadi sejak lama, dan masih terus terjadi. 

Kasusnya kurang lebih sama dengan keberadaan artis blasteran, yang selalu ada di tiap generasi. Dari Suzanna ke Chelsea Islan, dari Ari Wibowo sampai Mawar De Jongh, mereka selalu ada, bisa bebas berkarya, dan diterima masyarakat. 

Kalau artis blasteran Indonesia saja bisa diterima dengan baik, kenapa pemain diaspora Indonesia tidak?

Potensi ini pun rupanya disadari FIFA, yang memperbolehkan pemain diaspora (maksimal dari generasi kakek-nenek) bergabung dengan tim nasional. Jadi, ketika PSSI mendatangkan sejumlah pemain diaspora Indonesia, itu sudah sesuai aturan FIFA dan hukum negara.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun