Bicara soal Jamaika, tentu kebanyakan orang akan langsung mengaitkannya dengan Bob Marley atau musik reggae. Tapi, tidak banyak yang melihat geliat sepak bola di sana, khususnya dalam sedekade terakhir.
Padahal, negara Karibia ini punya profil menarik. Dari segi peringkat FIFA (per Juli 2024) mereka bertengger di posisi 59. Mereka juga tercatat pernah tampil di Piala Dunia 1998.
Memang, ada fase pasang surut cukup panjang di sini, tapi Tim Reggae Boyz sedang menggeliat di level regional dan benua. Di ajang Piala Karibia (turnamen sekelas Piala AFF di Asia Tenggara, yang juga jadi ajang kualifikasi Piala Emas CONCACAF) 1 trofi dan 1 penampilan final, masing-masing di edisi 2014 dan 2017 berhasil didapat.
Di level benua, tim Hijau Kuning juga mampu 2 kali lolos ke final Piala Emas CONCACAF (setara Piala Asia di Asia) masing-masing pada edisi 2015 dan 2017. Tak hanya itu, babak semifinal juga berhasil dicapai pada edisi 2019 dan 2023.
Tren positif ini awalnya dirintis saat JFF (PSSI-nya Jamaika) menunjuk Winfried Schfer (Jerman, eks pelatih Timnas Kamerun dan Thailand) sebagai pelatih tahun 2013, yang pada prosesnya dilanjutkan oleh Theodore Whitmore (legenda Timnas Jamaika, pencetak gol di Piala Dunia 1998) antara tahun 2016-2021.
Setelah sempat ada turbulensi antara tahun 2021-2022, JFF mulai rutin menunjuk pelatih asing berpengalaman, dengan Heimir Hallgrmsson sebagai nama  pertama. Pelatih asal Islandia ini pernah membawa negara Eropa Utara itu lolos ke Euro 2016 dan Piala Dunia 2018.
Secara performa, Michail Antonio dkk sebenarnya cukup baik, karena mampu menjadi semifinalis Piala Emas CONCACAF 2023. Masalahnya, performa jeblok di Copa America 2024 membuatnya harus diganti dengan Steve McClaren, eks pelatih Timnas Inggris dan eks asisten pelatih Manchester United.
Strategi merekrut pelatih berpengalaman memang bisa berpengaruh pada performa tim. Tapi, pada kasus Timnas Jamaika, faktor signifikan itu juga datang dari upaya JFF mencari bakat diaspora Jamaika di luar negeri, khususnya Inggris, yang dulu merupakan eks penjajah Jamaika.
Dalam sejarahnya, sejak tahun 1980-an, Timnas Inggris kerap diisi pemain keturunan Jamaika. Dua contoh terkenal hadir dalam sosok John Barnes (legenda Liverpool) dan Raheem Sterling (Arsenal).
Dengan rekam jejak cukup panjang, maka bukan kejutan kalau ada upaya "menarik pulang" diaspora Jamaika. Persis seperti apa yang belakangan getol diusahakan PSSI di Indonesia.
Langkah "instan" ini diambil, karena ada mimpi lolos ke Piala Dunia 2026. Kebetulan, selain pesertanya ditambah, Kanada, Amerika Serikat dan Meksiko (yang merupakan tim kuat di zona CONCACAF) dipastikan lolos otomatis sebagai tuan rumah.
Inilah kesempatan yang bisa dikejar. Karena itulah, pemain-pemain diaspora seperti Michail Antonio (West Ham), Ethan Pinnock (Brentford) dan Leon Bailey (Aston Villa) bisa bergabung dengan Jamaika. Ada juga Dexter Lembikisa, bek rekan seklub Justin Hubner  di Wolverhampton Wanderers, yang lahir di Inggris, tapi memilih negara asal ibunya.
Belakangan, jumlah pemain diaspora Jamaika masih akan kembali bertambah, setelah Mason Greenwood (Olympique Marseille) diketahui sedang mengurus administrasi pindah kewarganegaraan.
Meski  jumlah pemain diaspora di Jamaika belum sebanyak Timnas Indonesia, ada potensi nyata yang bisa dimanfaatkan. Jika semua berjalan lancar, rasanya tinggal tunggu waktu saja sampai negara pulau ini kembali lolos ke Piala Dunia.
Akankah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H