Sejak PSSI dipimpin Erick Thohir, pemain diaspora datang satu demi satu, dengan sebagian besar berasal dari Belanda. Sebenarnya ini bukan pertama kali, tapi baru kali ini dilakukan dengan sangat terencana.
Lebih jauh, ada kriteria standar kualitas dan rentang usia yang relatif konsisten, sehingga dampak yang dihasilkan bisa langsung terlihat, seperti stamina yang tangguh, keterampilan teknik yang selayaknya pemain bola profesional, dan mental yang siap bertanding di lapangan.
Levelnya jelas berada di atas rata-rata pemain Liga Indonesia. Terbukti, tim raksasa Asia macam Arab Saudi mampu ditahan imbang 1-1 di laga pembuka babak ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia.
Dalam laga ini, pemain diaspora Indonesia juga bersinar. Jay Idzes solid di lini belakang, Maarten Paes tangguh di bawah mistar, dan Ragnar Oratmangoen mencetak gol.
Perbedaan level ini semakin terlihat mencolok, karena satu poin itu didapat di Arab Saudi, bukan di rumah sendiri. Sesuatu yang belum pernah dicapai Timnas Indonesia sebelumnya, khususnya di era modern.
Tentu saja, ini menjadi satu hasil yang tak terbayangkan, tapi sudah cukup menggambarkan, PSSI era Erick Thohir lebih realistis, karena butuh waktu paling cepat 10-15 tahun untuk menata sistem pembinaan pemain muda di Indonesia, dan butuh waktu lebih lama lagi untuk membuatnya bisa mencetak pemain kelas satu secara rutin.
Maka, ketika pemain diaspora Indonesia berkualitas "kelas A" datang satu demi satu, dan menaikkan level performa Tim Merah Putih, ini bisa dilihat sebagai solusi instan sekaligus strategi memanfaatkan gap waktu paling cepat 10-15 tahun. Dengan catatan, pembenahan di dalam negeri benar-benar dilakukan.
Pemain diaspora sendiri adalah satu potensi nyata yang paling bisa digarap. Mereka bahkan dibentuk dari sistem pembinaan pemain yang sudah rapi.
Selama standar kualitas oke dan punya garis keturunan Indonesia, semua bisa diatur. Apalagi, FIFA juga mengizinkan pemain diaspora berganti paspor, sepanjang belum pernah membela tim nasional senior dan punya garis keturunan maksimal dari generasi kakek nenek di tim negara tujuan.
Dengan potensi nyata sebesar ini, ditambah peningkatan performa yang sudah terbukti ada, rasanya tinggal tunggu waktu saja untuk kita semua melihat, komposisi starter Tim Garuda sepenuhnya berisi pemain diaspora Indonesia.
Bagi pemuja fanatik "lokal pride" atau sejenisnya, potensi inj tentu lebih dari cukup untuk membuat jengkel. Tapi, inilah yang memang dibutuhkan tim asuhan Shin Tae-yong, untuk mengejar ketertinggalan di level Asia.
Disadari atau tidak, selama puluhan tahun, sepak bola nasional terlalu banyak berkutat dengan aneka masalah dan keruwetan. Akibatnya, saat negara-negara lain bisa melangkah jauh, Indonesia masih jalan di tempat, dan semakin tertinggal.
Maka, saat kebijakan mencari pemain diaspora Indonesia di luar negeri (yang belakangan juga ikut merambah ke dalam negeri) terus diupayakan dan didukung penuh Kemenpora, ini adalah satu upaya realistis.
Ketika dampaknya terbukti bagus, seharusnya keberadaan para pemain diaspora ini bisa memacu pemain lokal untuk berkembang di berbagai aspek. Dengan catatan, si pemain lokal ini bermental tangguh. Kalau tak tangguh, siap-siap hilang dari radar, karena jalur "titipan" sudah tutup.
Andai pemain diaspora Indonesia suatu saat mendominasi daftar pemain Timnas Indonesia, sepanjang hasilnya oke, bahkan terus meningkat, rasanya suporter juga tak keberatan.
PSSI pun juga tidak akan kesulitan mencari pelatih dengan level (minimal) setara STY, jika suatu saat harus berganti pelatih, karena ekspektasi (mulai) sebanding dengan kualitas materi pemain.
Tapi, jangan sampai pemain diaspora jadi tumpuan tunggal, karena bisa jadi masalah. Maklum, PSSI tidak selalu dipegang sosok yang memang kompeten di bidangnya. Jadi, kita tidak pernah tahu, sampai kapan era Thom Haye dkk di tim nasional akan berlanjut.
Praktis, untuk saat ini, publik sepak bola nasional bisa berharap, momen kejutan seperti di Arab Saudi bukan yang terakhir, dan Garuda masih berani bermimpi besar.
Jadi, ketika semuanya berakhir, Timnas Indonesia era STY (setidaknya) akan jadi satu pesan tegas di masa depan. Cukup dengan dipimpin sosok kompeten dan berani menggarap potensi yang memang nyata, Timnas Indonesia minimal punya nyali untuk bermimpi besar di level Asia, bukan hanya puas menjadi katak dalam tempurung yang melihat trofi Piala AFF layaknya trofi Piala Dunia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H