Kritik pada aspek dasar kadang masih diperlukan, tapi jika itu malah menjadi satu obsesi, dan selalu jadi objek "sasaran tembak" untuk menunjukkan kelemahan orang lain, itu malah akan menghambat.
Meski dari luar terlihat keren, terlihat kuat di aspek elementer malah menunjukkan titik rawan di aspek lainnya. Kalau tidak cepat disadari, tidak butuh waktu lama untuk mentok dengan sendirinya.
Ibarat seorang pemain sepak bola, ia terlalu fokus pada aspek kemampuan individu, tapi lupa memperhatikan aspek lain yang tak kalah penting, seperti intelegensi, fisik, teknik, taktik, disiplin, dan kerjasama tim. Kalau ternyata kemampuan individu yang dibanggakan tidak istimewa, selesai sudah.
Kritik di ruang kreatif (seharusnya) adalah satu hal konstruktif yang bisa membantu orang-orang di dalamnya makin berkembang, baik secara teknis maupun personal.
Kalau ternyata toksik dan merusak, itu layak untuk diabaikan, karena menulis pada dasarnya adalah satu proses tumbuh kembang secara berkelanjutan, bukan kompetisi jangka pendek yang sifatnya "sekali berarti sudah itu mati".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H