Bicara soal sepak bola di Amerika Selatan, Uruguay menjadi satu negara dengan paduan karakter unik. Meski punya luas negara dan populasi relatif kecil di wilayahnya, negara ini punya aneka prestasi yang membuat mereka jadi rival tradisional Brasil dan Argentina.
Dengan dua kali juara Piala Dunia, sepasang medali emas Olimpiade dan 15 gelar Copa America, terselip satu jejak sejarah panjang, yang melibatkan sejumlah pemain legendaris dari masa ke masa.
Dari Juan Schiaffino ke Enzo Fransescoli, dari Alvaro Recoba ke Diego Forlan, sampai duet tombak kembar Luis Suarez-Edinson Cavani, semua punya warna khas dan cerita masing-masing. Tapi, dari semuanya itu, Luis Suarez mungkin menjadi nama paling "colorful" dalam sejarah La Celeste, khususnya di era modern.
Disebut demikian, karena El Pistolero mampu menampilkan performa cemerlang di lapangan, dengan paduan teknik, kecerdasan dan determinasi.
Meski tidak selalu terlihat mentereng, ia mampu bersinar saat dibutuhkan. Atributnya pun terbilang komplit, karena dia bisa juga menjadi motor serangan tim, dan eksekutor bola mati.
Hasilnya, Uruguay yang sempat berada di titik nadir, setelah absen di Piala Dunia 2006 menemukan lagi posisinya sebagai raksasa klasik Amerika Selatan. Titik puncaknya bahkan langsung hadir, di dua turnamen mayor beruntun, yakni Piala Dunia 2010 dan Copa America 2011.
Bersama Diego Forlan dan Edinson Cavani, eks pemain Atletico Madrid ini membentuk trisula lini depan, yang membantu Uruguay lolos ke semifinal Piala Dunia 2010, atau untuk pertama kalinya sejak edisi 1970, dan juara Copa America 2011. Di Copa America 2011, sohib Lionel Messi ini bahkan terpilih menjadi Pemain Terbaik Turnamen.
Selepas Forlan pensiun, duetnya bersama Edinson Cavani menjadi tombak kembar andalan Los Charruas, yang pada titik tertentu menciptakan satu ketergantungan. Saat salah satu saja dari keduanya absen, tim akan kesulitan.
Di luar kehebatan dan prestasinya, perjalanan eks pemain Barcelona ini di tim nasional juga punya sisi kontroversial. Di laga debutnya melawan Kolombia pada Februari 2007 saja, ia terpaksa keluar lebih cepat, karena mendapat kartu kuning kedua.
Momen kontroversial terkenalnya hadir di perempatfinal Piala Dunia 2010, saat Luisito mendadak "cosplay" menjadi kiper, saat menggagalkan peluang pemain Ghana di mulut gawang. Tanpa ampun, wasit memberikan kartu merah dan memberi hadiah penalti, yang justru gagal dikonversi Asamoah Gyan menjadi gol.