Kemenangan 3-0 Liverpool atas Manchester United, Minggu (1/9) menghadirkan banyak hal untuk dibahas. Tapi, kehadiran Arne Slot sebagai antitesis Erik Ten Hag menjadi satu aspek menarik.
Disebut demikian, karena pelatih kelahiran tahun 1978 ini berada pada situasi cukup kontras dengan ETH di kursi pelatih Manchester United. Seperti diketahui, eks pelatih Ajax Amsterdam itu diberi keleluasaan belanja pemain dan merekrut staf pelatih oleh manajemen klub.
Kemewahan itu tidak dimiliki Arne Slot. Saat datang dari Feyenoord Rotterdam, ia "hanya" mendapat previlese membawa serta Sipke Hulshoff (asisten pelatih) dan Ruben Peeters (pelatih fisik) plus merekrut Fabian Otte (pelatih kiper, dari Gladbach) dan John Heitinga (asisten pelatih, dari West Ham).
Di bursa transfer, pelatih berkepala gundul ini hanya bertugas merekomendasikan target transfer potensial, tapi keputusan akhir ada pada Richard Hughes selaku Direktur Olahraga klub. Pembagian tugas yang kurang lebih sama seperti di tim liga-liga Eropa daratan.
Situasi ini sama persis dengan periode Arne Slot melatih Feyenoord Rotterdam. Meski begitu, tim kota pelabuhan Belanda itu mampu dibawanya juara Eredivisie Belanda, dengan modal belanja relatif terbatas.
Maklum, meski merupakan salah satu tim Tiga Besar di Eredivisie, kondisi finansial Feyenoord tidak stabil, jika dibanding PSV Eindhoven atau Ajax Amsterdam.
Alhasil, Slot hanya bisa "nrimo ing pandum" saat Liverpool mendatangkan Federico Chiesa (gelandang serang, dari Juventus) di musim panas 2024. Satu nama lain, yakni Giorgi Mamardashvili (kiper) langsung dipinjamkan ke Valencia, dan baru akan bergabung di musim panas 2025.
Situasi ini membuat prospek eks pelatih AZ Alkmaar itu sepintas terlihat suram di Anfield. Sudah wewenang terbatas, pemain baru juga cuma satu orang. Itupun masih dibarengi dengan penjualan Sepp Van Den Berg dan Fabio Carvalho (ke Brentford) dan Bobby Clark (ke RB Salzburg).
Tapi, dibalik sisi suram itu, Arne Slot justru mampu meng-"upgrade" tim warisan Juergen Klopp, dengan menambahkan sisi adaptif secara taktik, dan sentuhan "Total Football" ala Belanda.
Tak ada lagi raungan sepak bola "heavymetal" khas Juergen Klopp, karena "pressing" Liverpool kini tampak terukur, tapi lebih mematikan, karena kombinasi umpan pendek dan panjang tim begitu mengalir, bahkan di ruang sempit. Kalau sisi sayap macet, masih ada lini tengah yang bisa membantu.
Selain membuat sistem yang lebih dinamis, Slot juga mampu menaikkan level performa pemain seperti Ryan Gravenberch dan Luis Diaz yang dinilai "kurang" musim lalu. Sepasang gol Diaz dan dominasi Gravenberch di lini tengah menjadi satu bukti kehebatan sang pelatih.
Jadi, wajar kalau Manchester United bisa dibobol 3 kali di Old Trafford, dalam sebuah pertandingan yang secara situasi sudah "selesai" sebelum satu jam, tepatnya setelah Mohamed Salah menjebol gawang Andre Onana di awal babak kedua.
Sekalipun kalah dalam penguasaan bola, Si Merah mampu mengontrol situasi dan mengunci kemenangan 3-0. Saking nyamannya, pelatih asal Belanda itu dengan leluasa melakukan empat pergantian pemain di setengah jam terakhir waktu normal, untuk keperluan rotasi pemain mengakali jadwal padat.
Sebaliknya, Erik Ten Hag yang sudah mendatangkan sejumlah pemain baru, yakni Leny Yoro, Matthijs de Ligt, Noussair Mazraoui, Joshua Zirkzee dan Manuel Ugarte tampak buntu. Kedatangan staf pelatih baru macam Rene Hake dan Ruud Van Nistelrooy pun juga belum berdampak signifikan.
Pelatih asal Belanda ini masih bersikeras dengan idenya "meng-Ajax-kan" Setan Merah, dengan memboyong sejumlah eks anak asuhnya di Ajax. Dari Antony dan Lisandro Martinez di musim panas 2022, Andre Onana di musim panas 2023 lalu duo Matthijs de Ligt dan Noussair Mazraoui di musim panas 2024.
Meski masih konsisten labil di Liga Inggris, strategi ini tampak masih dipegang erat.
Memang, di bawah komandonya, Manchester United berhasil meraih Carabao Cup dan Piala FA, tapi performa labil tim di Liga Inggris benar-benar menjadi satu masalah besar.
Apalagi, manajemen klub sudah rutin menggelontorkan dana transfer ratusan juta pounds, dan memberinya keleluasaan belanja besar tiap tahun.
Andai ETH berada di posisi Arne Slot, situasinya mungkin akan lebih runyam, karena ia kadung terbiasa dengan aneka previlese: kewenangan luas di Old Trafford, plus dukungan akademi dan tim pencari bakat kelas satu di Ajax.
Tapi, situasi kontras Arne Slot dan Erik Ten Hag di Liga Inggris, dengan kemenangan 3-0 Liverpool atas Manchester United di Old Trafford sebagai titik temunya, menjadi satu gambaran, dari seberapa parah kemandekan (dan mungkin kemunduran) MU bersama Ten Hag, dan seberapa menarik prospek Liverpool bersama Arne Slot, meski hanya belanja ala kadarnya.
Sepintas, ide meng-Ajax-kan The Red Devils terlihat menarik, tapi ini jelas sebuah kemunduran pola pikir, karena level kualitas aktual Ajax dan Eredivisie jelas tidak sama dengan era Rinus Michels dan Cruyff (1970-an dan 1980-an) atau Louis Van Gaal (1990-an). Di era kekinian, Eredivisie bahkan tidak termasuk dalam lima besar Liga top Eropa.
Kalau memang mengharapkan hasil sama persis, dengan sistem sama persis juga, ide meng-Ajax-kan United baru akan sukses besar, kalau klub kesayangan Manchunian itu pindah dari Liga Inggris, dan berkompetisi di Eredivisie Belanda.
Di era kekinian yang dinamis, ide klasik seperti ini sudah tak lagi relevan, karena memang sudah tertinggal puluhan tahun di belakang. Ini adalah era dimana sisi adaptif menjadi kunci supaya tetap dinamis dan kompetitif.
Sejauh ini, Arne Slot sudah melakukannya dengan baik, hanya dalam waktu singkat di Anfield, sementara Erik Ten Hag masih belum kunjung lepas dari ide klasiknya. Sebuah kontradiksi dari dua Nederlander berkepala plontos, yang menunjukkan kutub sisi konservatif dan progresif secara bersamaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H