Turnamen invitasi Seoul Earth On Us Cup 2024 yang diikuti Timnas Indonesia U-19 baru saja tutup buku, Minggu (1/9), dengan Korea Selatan keluar sebagai juara, setelah menyapu bersih 3 kemenangan, termasuk kemenangan 3-0 atas Indonesia di laga terakhir.
Gol-gol Shin Min-ha, Kim Tae-won, Hong Seok-hyun di babak pertama melengkapi performa stabil sang tuan rumah turnamen, yang sebelumnya mengalahkan Argentina 1-0 dan Thailand 4-1.
Sebaliknya, kekalahan atas Tim Ksatria Taeguk Muda menjadi yang kedua secara beruntun buat Garuda Muda, setelah sebelumnya ditekuk Thailand 0-2. Alhasil, mereka harus puas menjadi juru kunci, karena kalah selisih gol dari Thailand dan Argentina, meski ketiga tim sama-sama meraih 1 kemenangan.
Secara hasil akhir, performa Kadek Arel dkk jelas jauh dari kata maksimal. Tapi, ada satu masalah mental yang muncul, yakni euforia berlebihan.
Penyebabnya memang logis, karena dipicu kemenangan 2-1 atas Argentina di laga pembuka. Caranya pun terbilang spesial, karena tim asuhan Indra Sjafri ini sempat kebobolan lebih dulu.
Masalahnya, respon tim dan publik sepak bola nasional setelah pertandingan benar-benar membuat lupa diri. Padahal, kalau dicermati lagi, Argentina yang dihadapi ini adalah tim dengan materi pemain berusia 17-18 tahun, yang umumnya bermain di tim B klub Divisi Primera Nacional (kasta kedua Liga Argentina) seperti Quilmes, Temperley, Ferro dan Colon.
Sebagai contoh, kapten tim mereka, yakni Mirko Juarez, yang menjebol gawang Timnas Indonesia U-19, bermain sebagai bek di tim B Quilmes. Nama lain, yakni Rodrigo Ezequiel Stocco, bermain di tim B Temperley.
Biasanya, tim B sebuah klub berlaga di level kompetisi lebih rendah dari tim utama klub. Jadi, level kemampuannya setara divisi tiga ke bawah alias amatir. Jauh dibawah raksasa Argentina macam Boca Juniors atau River Plate.
Otomatis, level kualitas pemain-pemain yang ada jelas beda level, bahkan dengan Argentina U-17 angkatan Claudio Etcheverri (River Plate, bergabung dengan Manchester City akhir tahun 2024) yang menjadi semifinalis Piala Dunia U-17 di Indonesia tahun 2023.
Mungkin kehadiran tim "eksperimen" ini terdengar aneh, tapi sudah menjadi fenomena umum di turnamen invitasi atau tidak resmi, terutama di level kelompok umur seperti Seoul EOU Cup. Sayangnya, fakta mendasar seperti ini terlanjur lupa disadari, karena euforia yang ada terlanjur membeludak.
Akibatnya, tim asuhan Indra Sjafri ini langsung terlena, dan tampil kacau di laga melawan Thailand dan Korea Selatan. Ada ide, tapi semua langsung berantakan akibat kebobolan satu gol di menit awal. Kekacauan yang ada makin sempurna, ketika tim buntu dan kembali kebobolan.
Soal stamina, para pemain sudah lebih tangguh, tapi kerjasama tim yang amburadul membuat kemajuan ini mubazir. Apa boleh buat, jangankan menang, mencetak gol saja gagal.
Praktis, kalaupun ada hal positif yang bisa dibawa pulang dari Korea Selatan, selain kemenangan 2-1 atas Argentina yang digoreng sampai gosong, itu ada pada masalah mental dan gap kualitas pemain.
Soal mental, euforia akibat kemenangan atas Argentina (yang ternyata berisi pemain-pemain kelas amatir) sudah seharusnya tidak dibiasakan. Kecuali kalau memang ingin jadi seperti Arab Saudi di Piala Dunia 2022: mengalahkan Argentina, euforia, tapi masuk kotak di fase grup.
Soal kualitas, jelas ada gap cukup lebar, ketika pemain abroad seperti Welber Jardim (Sao Paulo) dan Jens Raven (Dordrecht) absen. Jika memang ingin membuat tim kompetitif, misalnya seperti di Piala AFF U-19 lalu, seharusnya ada ruang untuk pemain abroad ikut seleksi.
Meski bukan hasil maksimal, penampilan di Seoul EOU Cup seharusnya sudah jadi peringatan tegas: sudah saatnya "move on" dari kejayaan di Piala AFF U-19, dan jangan ada ruang untuk euforia prematur, kecuali jika ingin mimpi melangkah jauh di level Asia (apalagi dunia) berakhir seperti yang sudah-sudah.
Bisa, Garuda Muda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H