Akibatnya, tim asuhan Indra Sjafri ini langsung terlena, dan tampil kacau di laga melawan Thailand dan Korea Selatan. Ada ide, tapi semua langsung berantakan akibat kebobolan satu gol di menit awal. Kekacauan yang ada makin sempurna, ketika tim buntu dan kembali kebobolan.
Soal stamina, para pemain sudah lebih tangguh, tapi kerjasama tim yang amburadul membuat kemajuan ini mubazir. Apa boleh buat, jangankan menang, mencetak gol saja gagal.
Praktis, kalaupun ada hal positif yang bisa dibawa pulang dari Korea Selatan, selain kemenangan 2-1 atas Argentina yang digoreng sampai gosong, itu ada pada masalah mental dan gap kualitas pemain.
Soal mental, euforia akibat kemenangan atas Argentina (yang ternyata berisi pemain-pemain kelas amatir) sudah seharusnya tidak dibiasakan. Kecuali kalau memang ingin jadi seperti Arab Saudi di Piala Dunia 2022: mengalahkan Argentina, euforia, tapi masuk kotak di fase grup.
Soal kualitas, jelas ada gap cukup lebar, ketika pemain abroad seperti Welber Jardim (Sao Paulo) dan Jens Raven (Dordrecht) absen. Jika memang ingin membuat tim kompetitif, misalnya seperti di Piala AFF U-19 lalu, seharusnya ada ruang untuk pemain abroad ikut seleksi.
Meski bukan hasil maksimal, penampilan di Seoul EOU Cup seharusnya sudah jadi peringatan tegas: sudah saatnya "move on" dari kejayaan di Piala AFF U-19, dan jangan ada ruang untuk euforia prematur, kecuali jika ingin mimpi melangkah jauh di level Asia (apalagi dunia) berakhir seperti yang sudah-sudah.
Bisa, Garuda Muda?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H