Postur tinggi besar, ditambah akurasi umpan dan kemampuan teknik di atas rata-rata, menjadi atribut yang langsung terlihat di Ipswich.
Meski bukan tipikal gelandang yang terbiasa "main keras" seperti Moises Caicedo di Brighton dan Chelsea, duetnya bersama Alexis MacAllister sedikit banyak mengingatkan pada duet Alexis MacAllister dan Caicedo di Brighton, dalam versi lebih "halus".
Di Liverpool sendiri, pemain dengan atribut seperti Gravenberch pernah hadir dalam sosok Gini Wijnaldum antara tahun 2016-2021, yang sama-sama berasal dari Belanda, terampil secara teknis, dan berdarah Suriname.Â
Bedanya, gaya main Wijnaldum cenderung lebih ngotot, dan posturnya (175 cm) tidak setinggi Gravenberch (190 cm).
Dalam hal urusan kebugaran, Wijnaldum agaknya menjadi satu referensi, yang ingin coba (kembali) diterapkan Liverpool pada Gravenberch. Maklum, selama waktunya di Anfield, pemain yang kini berseragam Al Ettifaq ini termasuk cukup jarang absen lama karena cedera.
Tapi, dengan padatnya jadwal tim, termasuk di Liga Champions format baru, rasanya masih terlalu riskan kalau hanya Gravenberch seorang yang diandalkan sebagai pemain dengan peran "nomor punggung 6".
Jika semuanya berjalan lancar, mungkin saga transfer batal Zubimendi dan perkembangan Gravenberch di bawah arahan Arne Slot akan menjadi repetisi kisah kedatangan Wataru Endo musim lalu. Sebuah "blessing in disguise".
Seperti diketahui, Endo yang datang dari Stuttgart setelah Caicedo memilih bergabung dengan Chelsea, terbukti lebih oke secara performa, meski awalnya diragukan.
Akankah cerita serupa kembali terulang di Anfield?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H