Di era kekinian, khususnya di Indonesia, kopi menjadi satu bagian gaya hidup. Beragamnya tempat produksi dan karakteristik rasa kopi, juga membuat konsumen punya ruang eksplorasi rasa.
Soal selera, itu tergantung preferensi dan pengalaman masing-masing. Ada yang suka robusta, fanatik arabika, dan lain-lain.
Soal harga, ada yang sudah cukup puas dengan kopi puluhan ribu rupiah per kilogram, dan ada yang baru puas dengan kopi jutaan rupiah per kilogram. Beda orang, beda standar, beda selera.
Berhubung ini selera, seharusnya tak ada yang salah. Selama itu kopi murni dan dibeli dengan uang sendiri, seharusnya itu masih aman.
Tapi, ketika ada orang yang tanpa malu mencela dan merendahkan selera orang lain, yang berbeda dengannya, ini agak mengganggu. Sejak kapan preferensi soal selera jadi ajang debat?
Kedengarannya konyol, karena ini mirip seperti fenomena "pendekar kopi" yang berkelana dari kafe ke kafe, dan merecoki urusan dapur barista. Bedanya, "pendekar kopi" jenis ini baru sebatas mengkritisi dan sedikit merecoki pilihan kopi orang lain, dengan sudut pandang cenderung sempit.
Padahal, variabel soal pilihan kopi itu sendiri kadang rumit. Ada yang berpegang pada prinsip "murah tapi bagus" dan ada yang "cinta mati" pada jenis kopi tertentu. Sekali lagi, ini soal selera.
Sebagai penganut prinsip "murah tapi bagus", saya memilih "memanfaatkan" keberagaman daerah asal kopi dan karakteristik rasa kopi.
Jadi, ketika harga kopi dari satu daerah naik signifikan, tinggal beralih ke kopi dari daerah lain yang harganya lebih murah, tapi dengan kualitas kurang lebih mirip.
Toh Indonesia punya aneka jenis kopi dari Sabang sampai Merauke. Kenapa tidak dimanfaatkan?