Mentang-mentang sedang ada "bonus demografi", pembatasan usia yang ada menjadi sewenang-wenang. Ditambah kriteria seabrek, perusahaan seperti berlomba-lomba mencari orang jenius yang bisa apa saja.
Sudah begitu, perlakuan saat proses rekrutmen juga semau gue. Jarang ada kejelasan, dan kebanyakan berakhir dengan kena "ghosting". Konyolnya, ketika ada kandidat melakukan hal sama ke perusahaan, perusahaan akan jadi pihak yang merasa paling tersakiti.
Tapi, berseminya tren kerja kontrak jangka pendek, selain karena faktor dukungan regulasi, juga menunjukkan, ada tren "turnover" tenaga kerja cukup cepat, karena kontrak jangka panjang dinilai kurang efektif, khususnya kepada kalangan Gen Z yang cenderung lebih kritis dan frontal,
Bisa dibilang, perusahaan kena batunya, tapi tidak mau mengakui. Persis seperti pada sikap "ghosting" mereka pada kandidat, yang pada titik tertentu membuat iklan lowongan kerja mereka terlihat seperti sebuah "scam" alias penipuan, karena muncul dan menghilang seenaknya sendiri.
Malah, mereka terkesan seperti menutupi masalah diskriminasi usia, dengan menciptakan masalah lain, berupa tingkat "turnover" alias pergantian tenaga kerja yang meningkat.
Padahal, tingkat "turnover" yang tinggi justru menunjukkan, seberapa tidak stabil sebuah perusahaan. Kalau dibiarkan terus, Â perusahaan akan semakin cepat menggali lubang kubur sendiri.
Ironisnya, fenomena diskriminasi usia lowongan kerja justru menampilkan sebuah paradoks dari negara tersayang. Sebuah negara yang menyebut diri "kaya" akan budaya justru kurang bisa memanusiakan manusianya.
Kalau benar kekayaan budaya itu ada, seharusnya tak ada lagi diskriminasi usia atau semacamnya, karena budaya sendiri ada untuk "memanusiakan manusia". Kalau ternyata masih ada diskriminasi, apalagi yang sistematis, berarti budaya negatif masih lebih kuat, ketimbang yang positif, karena manusia belum dilihat sepenuhnya sebagai manusia.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI