Dibalik gempita usai keberhasilan Timnas Indonesia U-19 juara Piala AFF U-19 edisi 2024, terselip satu cerita muram, yakni performa redup Arkhan Kaka di lini depan Timnas U-19.Â
Sebenarnya, pemain kelahiran tahun 2007 ini merupakan penyerang lokal potensial. Torehan gelar juara Piala AFF U-16 edisi 2022 plus sepasang gol di Piala Dunia U-17 menjadi bukti, yang membuatnya terlihat menonjol, setidaknya untuk ukuran penyerang lokal.
Tak heran, pelatih Indra Sjafri memberinya 3 kali kesempatan tampil sebagai starter dan 2 kali bermain sebagai pengganti. Dengan kata lain, pemain nomor punggung 8 ini selalu bermain di Piala AFF U-19.
Masalahnya, performa pemain Persis Solo ini jauh panggang dari api. Hanya satu gol yang mampu dicetaknya ke gawang Timor Leste di fase grup, hasil assist Jens Raven yang sebenarnya bisa mencetak hattrick di pertandingan itu.
Sinar Arkhan Kaka lalu terlihat sangat redup, karena pada saat bersamaan, Jens Raven yang sempat jadi cadangan malah tampil gahar. Dari 3 kali penampilan sebagai starter dan 2 kali turun sebagai pengganti, penyerang FC Dordrecht U-21 itu mampu mencetak total 4 gol dan 2 assist, termasuk gol tunggal penentu kemenangan atas Thailand di final.
Entah bagaimana jadinya, kalau tak ada pemain blasteran Indonesia-Belanda itu di lini depan Garuda Muda.
Jelas, ada satu perbedaan cukup timpang dari keduanya. Jens Raven yang tak bisa langsung klik, pelan tapi pasti terus berkembang. Sebaliknya, Arkhan Kaka malah kesulitan berkembang, bahkan saat dirinya langsung mendapat kesempatan tampil sejak awal.
Andai Jens Raven memilih egois dan mencetak hattrick ke gawang Timor Leste, torehan golnya akan setara dengan Jake Najdovski (Australia, 5 gol) yang menjadi top skor Piala AFF U-19 2024.
Otomatis, statistik performa Arkhan Kaka  pun akan semakin suram, karena gagal mencetak gol di 5 pertandingan. Kalau dia seorang bek atau kiper, mungkin performa macam ini bisa dimengerti.
Tapi, ketika seorang penyerang sampai "disuruh" lari oleh komentator di siaran langsung televisi, dan dikritik warganet karena tampil seadanya, jelas ada yang salah. Penampilan pemain debutan termuda Liga 1 bersama Persis Solo ini bahkan terlihat seperti pemain yang kena "star syndrome".
Di sisi lain, perbedaan performa timpang ini juga menunjukkan, keputusan PSSI dan pelatih Shin Tae-yong berburu pemain diaspora Indonesia di luar negeri sudah tepat. Kalau perlu, harus dilanjutkan.
Dengan demikian, tidak ada lagi celah untuk pemain titipan masuk, seperti halnya pemain yang secara kualitas kurang layak. Otomatis, pemain lokal akan terpacu untuk berani keluar dari zona nyaman dan berkembang.
Kalau kualitasnya bagus di usia muda, tapi kesulitan tampil maksimal, sepertinya kita akan melihat kisah "layu sebelum berkembang" lainnya di sepak bola nasional. Kecuali, jika si pemain mau memperbaiki performa setelah ini.
Akankah?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H