Mirisnya, eks pemain PSIS Semarang ini lebih banyak "dimainkan" Tokyo Verdy untuk kepentingan promosi klub. Sebuah sinyal "red flag" yang terbungkus rapi dalam program kerja sama.
Seperti diketahui, J League bekerja sama dengan Qatar, Thailand, Vietnam, Myanmar, Malaysia, Kamboja, Singapura, dan Indonesia. Makanya, pemain-pemain seperti Dang Van Lam (Vietnam), Chanatip Songkrasin (Thailand), Luqman Hakim (Malaysia) dan Chan Vathanaka (Kamboja) pernah mencicipi pengalaman bermain di Jepang.
Meski termasuk salah satu liga top Asia di era modern, perlakuan yang didapat pemain-pemain Asia Tenggara, khususnya Indonesia di sini benar-benar kacau. Memang, secara fasilitas dan metode latihan, sepak bola Jepang sudah cukup maju, tapi pemain sepak bola tidak hanya butuh latihan. Mereka juga butuh pengalaman bertanding.
Ironisnya, para pemain Indonesia di Jepang justru lebih banyak mendapat menit bermain, saat dipanggil tim nasional. Entah itu di kalender resmi FIFA atau bukan, mereka hampir selalu ada. PSSI bahkan sampai melobi Cerezo Osaka, supaya bisa memainkan Justin Hubner di Piala Asia U-23 beberapa waktu lalu.
Diluar urusan menit bermain, keterbukaan klub-klub Jepang juga jadi tanda tanya besar. Tidak seperti klub Korea Selatan yang mau menjelaskan "kesibukan lain" Pratama Arhan (Suwon FC) sebagai bintang iklan dan pemain Timnas Indonesia, mereka terkesan diam saja.
Praktis, yang benar-benar "tegas" di sini baru Wolverhampton Wanderers, karena klub Liga Inggris itu langsung menarik pulang Hubner. Biasanya, langkah ini diambil, jika ada "pelanggaran" pada kesepakatan awal, yang pada kasus Hubner merujuk pada menit bermain terbatas.
Di satu sisi, cerita muram pemain Indonesia di Liga Jepang menjadi satu peringatan keras, supaya PSSI dan pihak-pihak terkait mau serius menggarap potensi dan berbenah. Kalau liganya berkualitas, tentu para pemain tidak harus pergi ke luar negeri untuk mengasah talenta.
Di sisi lain, PSSI dan pihak-pihak terkait juga perlu mengatur prioritas, terkait pemanggilan pemain "abroad", dengan memprioritaskan pertandingan dalam kalender resmi FIFA, dan mulai menepikan turnamen kelompok umur atau non kalender resmi FIFA.
Jadi, para pemain bisa fokus dan mengembangkan kemampuan di klub. Tentu saja, bukan hanya dari sesi latihan, tapi juga dari pengalaman bertanding.
Jika semua bisa disinkronkan dengan baik, Liga Jepang seharusnya bukan destinasi "red flag" buat pemain Indonesia. Kecuali, jika para pemain itu alih profesi jadi bintang iklan, dan menjadikan sepak bola sebagai profesi sampingan.
Bisa?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI