Dalam sebuah kampanye, janji adalah satu hal yang biasa menjadi magnet. Semakin menarik janji yang disampaikan, semakin banyak yang tertarik, apalagi kalau dinilai relevan dengan masalah terkait kebutuhan mendasar.
Maka, tidak mengejutkan kalau janji berupa program populis, seperti "program makan siang gratis" yang dicetuskan Prabowo-Gibran sukses besar di Pemilu 2024 lalu. Meski bukan satu-satunya faktor penentu, janji populis macam ini terbukti menjadi satu magnet penarik suara pemilih.
Secara moral dan etika, janji adalah hutang yang harus dibayar lunas. Masalahnya, di dunia politik, khususnya di Indonesia,
janji kebanyakan hanya gincu di masa kampanye.
Ia terlihat memukau saat kampanye, tapi setelah masa kampanye selesai, luntur dan hilang, karena setelah kampanye selesai, ganti polesan gincu baru. Jadi, ini bisa berubah sesuai kebutuhan.
Karena fleksibilitas ini, apapun janji politisi saat kampanye, itu tidak untuk dipegang erat. Mereka terbiasa jadi kutu loncat yang selicin belut, selalu punya cara untuk lolos.
Semakin bagus janjinya, semakin kita harus skeptis, sebagai bentuk antisipasi. Bukan karena mereka tidak mampu, tapi karena sistem yang ada memang sudah menghasilkan lebih banyak wacana ketimbang realisasi.
Kalaupun bisa terwujud, jangan pernah berharap wujudnya akan persis seperti harapan ideal. Terlalu banyak kepentingan saling terkait di sini, mulai dari yang simpel sampai ruwet.
Semakin populis ide programnya, semakin rawan. Apalagi kalau itu membutuhkan anggaran dana sangat besar.
Jadi, bukan kejutan kalau program populis macam makan siang gratis belum akan punya angka anggaran per porsi yang konsisten. Dari 15 ribu rupiah menjadi setengahnya, dan mungkin akan "ditangguhkan" jika dinilai belum siap secara anggaran.
Dengan beragamnya standar harga pangan dan selera makan di berbagai daerah seluruh Indonesia, menyeragamkan porsi dan menu akan sulit dilakukan.
Kerawanan yang ada semakin sempurna, karena korupsi masih jadi masalah.
Ini baru satu janji program, belum termasuk janji-janji lain.
Berangkat dari situ, akan aneh jika sampai ada yang dengan polosnya menagih janji, dengan tuntutan sama persis, bahkan lebih baik dari yang dikatakan. Mereka hanya memakai janji itu sebagai gincu, dan sudah pasti lupa jika sudah cuci muka atau memakai polesan gincu baru.
Politik adalah satu dunia yang terlalu kotor untuk orang-orang yang terlalu naif. Tidak ada tempat untuk rasa sakit hati, karena terlalu banyak polesan gincu, kutu loncat, belut, bahkan serigala di sini. Mereka terlalu pintar untuk berkelit, pura-pura lupa, dan berlagak bodoh.
Berhubung gincu "revolusi mental" ternyata malah menghasilkan "dinasti" baru, jangan kaget kalau nanti ada terlalu banyak "syarat dan ketentuan berlaku" pada program "makan siang gratis" dan kawan-kawan.
Lagipula, program "makan siang gratis" ini saja sudah terdengar aneh, karena realita dalam dunia politik justru lebih sering berkata "tidak ada makan siang gratis".
Di sisi lain, gincu janji-janji para politisi seharusnya bisa menjadi pelajaran mahal. Tidak perlu bersikap terlalu kritis, cukup realistis saja, karena politik bukan dunia yang sebegitu polos. Apapun bisa terjadi, karena kepentingan di atas segalanya.
Berhubung sudah terlalu banyak lakon ingkar janji, dan pura-pura lupa di sini, sudah saatnya kita melihat edukasi sebagai satu urgensi. Tujuan utamanya bukan sebatas membangun pandangan kritis, tapi supaya kita tetap sadar dan waspada.
Ini adalah satu alam, dimana orang yang terlihat "polos dan bersih" ternyata sangat kotor, dan orang yang berkali-kali tetsangkut kasus pun bisa terlihat bersih.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H