Jay Idzes dkk mampu lolos ke putaran ketiga, sekaligus menjadi wakil tunggal Asia Tenggara, sementara Dion Cools dkk kalah poin dari Kirgistan dan Oman. Hasil ini juga membuat Indonesia lolos otomatis ke putaran final Piala Asia 2027, dan Malaysia masih harus menjalani Kualifikasi Piala Asia 2027.
Situasi kedua tim mungkin terlihat aneh. Kenapa tim yang sama-sama dilatih orang Korea Selatan, punya awalan dan ide mirip, malah mendapat hasil kontras?
Satu faktor kunci yang bisa dilihat ada pada kebijakan kedua tim soal pencarian bakat diaspora dan pemain naturalisasi.
Timnas Indonesia di era STY lebih memprioritaskan pemain diaspora Indonesia yang masih produktif dan (minimal) punya pengalaman bermain di liga-liga Eropa. Berkat kebijakan ini, kualitas dan performa Tim Merah Putih cenderung meningkat,
Pola ini secara kasat mata juga ditiru Malaysia, tapi, pada prosesnya, FAM (PSSI-nya Malaysia) tidak punya kriteria dengan standar jelas, karena justru menaturalisasi pemain-pemain asing dari Liga Malaysia.
Akibatnya bukan maju, progres Malaysia justru terlihat stagnan. Stagnasi ini memicu perselisihan antara FAM dan pelatih Kim Pan Gon, yang berujung pada pengunduran diri sang pelatih, Selasa (16/7) lalu.
Sebagai gantinya, FAM mempromosikan Pau Marti Vicente (sebelumnya asisten pelatih) sebagai pelatih baru, dengan tugas terdekat bertanding di Piala Merdeka 2024. Nantinya, pelatih asal Spanyol ini akan dievaluasi secara periodik, sebelum akhirnya dipertahankan atau tidak.
Dengan demikian, Tim Negeri Jiran dipaksa memulai lagi semuanya dari awal, karena strategi "copy paste" mereka gagal total. Tentu saja, kegagalan ini normal, karena mereka coba meniru dan memadukan strategi Vietnam dan Indonesia secara mentah-mentah alias "amati, tiru plek ketiplek".
Tidak ada modifikasi, seperti pada strategi mencari pemain diaspora Indonesia, dan ini menjadi satu kelemahan fatal, karena Timnas Malaysia jadi terkesan kurang fokus pada upaya mengejar prestasi. Ketika performa buruk, pelatih lah yang jadi sasaran tembak, sebelum akhirnya dipaksa pergi.
Situasi ini sangat kontras dengan Indonesia, karena pada waktu berdekatan, pelatih Shin Tae-yong diganjar PSSI kontrak baru sampai tahun 2027, berkat berbagai kemajuan yang mampu dibuatnya.
Dalam sepak bola, meniru strategi sukses lawan memang bukan hal tabu, tapi harus ada modifikasi, karena itulah yang akan menentukan.