Di era kekinian, khususnya sejak sedekade terakhir, "multiclub ownership" alias kepemilikan beberapa klub oleh satu pihak, telah berkembang menjadi satu tren. Selain untuk menjaring pemain berbakat, memperluas jejaring bisnis menjadi motif umum di sini.
Jadi, bukan kejutan kalau sebuah grup "multiclub ownership" punya beberapa klub dengan nama atau ciri khas mirip. Dua contoh paling terkenal adalah klub-klub milik Red Bull dan City Football Group.
Anggota kedua grup ini (setidaknya sebagian) punya nama atau corak logo yang mirip. Red Bull yang punya klub di Salzburg (Austria), Bragantino (Brasil), New York (Amerika Serikat) dan Leipzig (Jerman) sama-sama punya logo dan inisial RB khas Red Bull.
Sementara itu, City Football Group (khususnya pada klub-klub anggota generasi awal) punya nama khas "City" dengan logo berbentuk lingkaran dan seragam kandang warna biru langit.
Belakangan, CFG melebarkan sayap, dengan membeli saham mayoritas di sejumlah klub, tanpa mengubah identitas lama klub. Beberapa klub itu antara lain Troyes (Prancis), Lommel SK (Belgia), Palermo (Italia) dan Bahia (Brasil).
Model kepemilikan ala CFG dan Red Bull menjadi satu gambaran paling umum soal "multiclub ownership" yang membuatnya seperti sedang berusaha menjadi "pembuat sejarah" era kekinian.
Pada kasus CFG, mereka sudah mencatat prestasi historis, kala Manchester City meraih Treble Winner (termasuk gelar Liga Champions pertama klub) di musim 2022-2023.
Tapi, dari beberapa grup "multiclub ownership" yang muncul, Fenway Sports Group menjadi satu kasus unik. Tidak seperti grup pemilik klub lain, mereka cenderung lebih suka membeli klub yang memang sudah punya identitas kuat dan sejarah prestasi.
Modus operandinya pun cukup seragam, karena klub yang diincar adalah klub dengan kondisi keuangan sedang bermasalah.
Pada tahun 2010, perusahaan investasi olahraga asal Amerika Serikat ini membeli Liverpool dengan harga 300 juta pounds. Kala itu, The Kop terkena krisis keuangan dan terancam bangkrut.