Dalam beberapa waktu terakhir, "mendadak atlet" telah menjadi sebuah fenomena gaya hidup, yang membuat banyak orang, terutama dari kelompok usia 30-an tahun atau lebih, seperti berlomba-lomba menampilkan kegiatan berolahraga di media sosial masing-masing.
Dari angkat beban, marathon, jogging sampai naik gunung, semua ada. Sepintas, ini terlihat positif, setidaknya sampai fenomena "joki strava" belakangan muncul.
Fenomena ini merupakan satu turunan dari fenomena "mendadak atlet", yang hadir berkat kejelian memanfaatkan perilaku "FOMO" terhadap tren upload statistik aktivitas olahraga dari aplikasi Strava di media sosial.
Tentu saja, joki strava adalah satu peluang yang datang, antara lain karena situasi dan perilaku. Misalnya, para pengguna joki strava ini sedang "kebelet eksis" tapi enggan melatih diri, tidak cukup kuat secara fisik, atau memang sedang terlalu sibuk.
Bagi sang joki, ini jelas profesi yang menyenangkan. Kapan lagi bisa berolahraga santai tapi dibayar?
Tapi, pertanyaan layak disematkan pada si pengguna jasa. Apa boleh FOMO-ini?
Bukannya tak boleh, ini adalah satu hal buruk jika dibiasakan, apalagi secara rutin. Di awal, mungkin terlihat keren tapi karena ini satu kebohongan, cepat atau lambat pasti akan ketahuan juga.
Perilaku semacam ini terlihat lucu saat ketahuan, karena pengguna joki strava itu ternyata tidak sehebat seperti yang selama ini dipamerkan.
Jangankan jogging jarak jauh, apalagi lari dengan kecepatan tinggi, jalan santai jarak jauh saja sudah kehabisan napas. Malunya pasti berlapis, itupun kalau masih punya malu.
Satu-satunya yang terbukti benar hanya swafoto dengan pakaian olahraga lengkap dan gadget mutakhir. Selebihnya, entahlah.