Bisa jadi, berfoto saja sudah sangat melelahkan. Tak ada lagi tenaga untuk berolahraga, karena berfoto itulah olahraganya.
Di sisi lain, fenomena joki strava menjadi satu contoh lain, yang menunjukkan, kebutuhan akan aktualisasi diri kadang begitu besar.
Saking besarnya, orang kadang sampai lupa diri. Apa yang dibutuhkan tidak sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan aktual.
Malah, kebutuhan untuk aktualisasi diri lewat joki strava ini sebenarnya justru bukan kebutuhan. Kalaupun tidak dilakukan, sebenarnya tidak masalah.
Tapi, karena tuntutan pergaulan dan tren, skala prioritas jadi kacau. Akibatnya, membayar joki strava pun rela dilakukan, berapapun biayanya.
Padahal, selain merupakan aktivitas fisik, olahraga adalah sebuah sarana kontemplatif, antara lain untuk belajar jujur dan mengenali diri sendiri, termasuk seberapa jauh kemampuan tubuh dalam berolahraga.
Kalau ternyata tidak cukup mampu, tapi tak ingin dibilang "kudet" menjadi FOMO jelas bukan solusi. Ini hanya akan jadi "kegiatan menyiksa diri dengan gaya". Sudah keluar banyak ongkos, capek, jenuh juga. Belum lagi kalau mendapat cedera.
Masih banyak aktivitas lain yang masih bisa dilakukan. Bisa menulis, menyanyi, atau memasak. Rebahan pun tidak masalah, karena beda orang beda gaya, beda cara, beda kapasitas.
Tidak ada yang salah jika kita tidak mengikuti tren, karena memang tidak mampu. Lebih baik jujur kepada diri sendiri, karena itu akan membuat kita leluasa untuk jujur kepada orang lain.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H