Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Gereja dalam Siklus Tumpang Tindih: Sebuah Opini

4 Juli 2024   23:59 Diperbarui: 5 Juli 2024   00:22 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sisi "ketokohan" yang dominan ini juga cenderung mengabaikan aspek legalitas institusi, karena kurang mengedepankan pentingnya posisi gereja sebagai sebuah institusi, yang keberadaannya secara legal perlu diakui, dilindungi dan dijamin negara.

Ini jelas berbanding terbalik dengan gereja klasik, yang sisi "institusional" nya jauh lebih kuat dari "ketokohan" nya. Karena sisi institusional inilah, gereja aliran klasik cenderung lebih transparan, misalnya dalam hal laporan keuangan, sebagai satu bentuk pertanggungjawaban etis.

Jadi, bukan hal mengejutkan kalau warga gereja kontemporer kadang terpaksa "berpaling kembali" ke gereja klasik, ketika suatu saat harus menghadapi perkara terkait urusan legalitas, yang memang membutuhkan dokumen resmi, misal pernikahan atau kematian.

Uniknya, ketika seorang warga gereja kontemporer sudah mulai "menua" atau merasa tidak lagi relevan dengan gaya ibadah kontemporer, ada kecenderungan untuk mereka kembali ke gereja lama.  

Meski begitu, fenomena keluar-masuk ini cenderung kurang sehat buat kedua belah pihak. Gereja aliran klasik cenderung kurang "lincah" karena kekurangan anggota berusia muda, sementara gereja aliran kontemporer cenderung kesulitan untuk jadi lebih "dewasa" karena terlalu fokus pada segmen audiens usia muda.

Gaya "rekrutmen jemaat" gereja kontemporer juga cenderung pragmatis, karena cukup banyak menyasar orang yang memang sudah bergereja. Bukan lewat misi ke daerah-daerah pelosok atau pembinaan, termasuk sejak usia anak-anak.

Siklus keluar-masuk ini merupakan satu fenomena alami di gereja Kristen secara umum, karena gereja aliran kontemporer pada dasarnya memang membidik kaum muda sebagai segmen audiens utama.

Alhasil, mereka kurang bisa mengakomodasi generasi senior maupun difabel, yang secara fisik kurang bisa mengikuti gaya ibadah kontemporer, yang cenderung mengedepankan suasana meriah dan gerak tubuh begitu enerjik.

Sebagai seorang difabel, saya sendiri memilih tetap setia menjadi warga gereja di sebuah gereja klasik, karena gaya lituginya cukup akomodatif dengan kondisi fisik saya. Dari sini juga saya menemukan, di balik litugi "baku" yang runtut dan "lempeng", ada sisi inklusif yang kadang  terlupakan.

Padahal, beribadah (termasuk di gereja) seharusnya bisa diikuti semua kalangan usia, dengan kondisi fisik apapun. Bukan hanya eksklusif bagi kalangan tertentu saja.

Jadi, "memanusiakan manusia" bisa diwujudkan, bahkan sejak bentuk paling sederhana. "Memanusiakan manusia" ini menjadi bagian yang sangat penting, karena membangun kesadaran paling dasar: Manusia bisa mengenali siapa dirinya, sesamanya, dan Penciptanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun