Sebelum melangkah lebih jauh, izinkan saya menjelaskan, apa yang saya tulis ini datang dari sudut pandang personal saya sebagai seorang warga gereja, dalam hal ini gereja Kristen di Indonesia, berdasarkan fenomena dari sedikit dinamika, yang sudah saya lihat sejak lama, dan juga telah cukup lama menjadi satu pergumulan bagi sebagian pihak.
Secara garis besar, tumpang tindih yang saya sorot disini datang dari keberadaan gereja Kristen gaya klasik dan kontemporer, yang sekilas terlihat saling mengisi dari luar, tapi punya dampak cenderung tidak sehat di dalam, buat gereja tersebut, dalam posisinya sebagai satu institusi.
Sebagai penjelasan, gereja gaya klasik yang saya maksud adalah, gereja yang bernaung di bawah payung Persatuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) dan Konferensi Waligereja Indonesia (KWI)
Kembali ke laptop. Saling mengisi yang saya maksud di sini adalah sebuah siklus "datang dan pergi" yang biasa terjadi.
Dalam banyak kasus, gereja gaya klasik atau aliran "mainstream" umumnya mengalami masalah dalam hal regenerasi anggota, karena sebagian generasi muda (terutama di kota besar) biasanya beralih ke gereja aliran kontemporer, yang kebanyakan berkembang cukup pesat di Indonesia, khususnya setelah era reformasi dimulai.
Pergeseran ini sendiri muncul, karena gaya litugi dan materi ibadah di gereja aliran kontemporer memang menyasar generasi muda. Segala sesuatu yang ditampilkan di sini dibuat se-relevan mungkin dengan generasi muda.
Tidak ada litugi runtut yang "baku", karena improvisasi dan kreativitas mendapat ruang lebih banyak. Jadi, bukan kejutan kalau euforia dan emosional menjadi corak suasana dominan, yang pada titik tertentu membuatnya terlihat seperti sebuah konser: terasa meriah, dan dilengkapi dengan alat musik band modern.
Memang, gaya ini terasa segar dan kuat, karena ikut didukung kampanye masif di media sosial. Masalahnya, "kesegaran" ini dibangun di atas pondasi yang cenderung rapuh di beberapa aspek kunci.
Dari struktur organisasi, titik rawan gereja kontemporer ada pada keberadaan figur pendeta, "tokoh" atau "ikon" tertentu yang kuat secara persona, dan dianggap sebagai sosok pemimpin.
Dari segi popularitas, keberadaan sosok seperti ini cukup efektif menarik audiens, tapi sekali figur sosok ini bermasalah atau pergi, pamor gereja itu tak lagi sama. Sederhananya, tidak ada keberlanjutan institusional yang konsisten, karena adanya figur yang terlalu sentralistik.