Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Timnas Indonesia, STY, dan Sebuah Antitesis

29 Juni 2024   23:53 Diperbarui: 1 Juli 2024   13:59 245
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toni Pogacnik (Bolatimes.com)

Setelah hanya sebatas kesepakatan verbal selama beberapa pekan terakhir, akhirnya PSSI dan Shin Tae-yong resmi melanjutkan kerja sama. Pada Jumat (28/6) lalu, PSSI memperpanjang kontrak sang pelatih hingga tahun 2027.

Dengan demikian, pelatih asal Korea Selatan itu berpeluang menjadi pelatih terlama sepanjang sejarah Timnas Indonesia (yang bertugas sepenuhnya di tim nasional). Sebelumnya, rekor ini dipegang oleh Toni Pogacnik (1913-1978) yang bertugas antara tahun 1954-1963.

Hanya saja, pada masa tugasnya, pelatih asal Yugoslavia, yang sukses membawa Ramang dkk ke perempatfinal Olimpiade 1956, dan meraih medali perunggu Asian Games 1958 ini juga sempat merangkap tugas sebagai pelatih di klub Grasshopper (Swiss) antara tahun 1958-1960.

Jika melihat rekam jejak masa tugas pelatih di Timnas Indonesia, sangat jarang ada pelatih yang bisa awet bertugas selama 4 tahun atau lebih. Sebelum STY dan setelah Pogacnik, pelatih terakhir yang bisa bertahan cukup lama hanya E.A. Mangindaan (1966-1970) dan Anatoli Polosin (Uni Soviet, 1987-1991).

Anatoli Polosin (Tirto.id)
Anatoli Polosin (Tirto.id)
Selebihnya, rata-rata hanya bertahan selama 1-2 tahun atau kurang, kecuali pada periode Romano Matte (Italia, 1993-1996) dan Peter White (Inggris, 2004-2007). Dengan frekuensi pergantian pelatih sebanyak itu, tidak mengejutkan kalau kiprah tim nasional Indonesia cenderung tidak stabil.


Terlalu banyak beban target jangka pendek yang justru lebih dikejar, ketimbang memikirkan rencana jangka panjang. Celakanya, dari masa ke masa, PSSI hampir selalu membonceng dan berlindung di balik ekspektasi tinggi publik sepak bola nasional.

Akibatnya, kursi pelatih tim nasional kadang terasa terlalu panas, bahkan untuk ukuran "kursi panas" sekalipun. Kalau kualitas pemain dan kompetisinya kelas satu dunia, mungkin bisa dimengerti, tapi realita dan ekspektasi tak pernah "nyambung" di sini.

Maka, ketika Shin Tae-yong bisa awet bertugas di kursi pelatih Timnas Indonesia, ini adalah sebuah antitesis dari kebiasaan PSSI. Antitesis ini semakin sempurna, karena sang pelatih belum pernah meraih trofi juara selama bertugas.

Selama ini, PSSI biasa bersikap tak kenal ampun, jika pelatih gagal meraih gelar juara atau medali emas. Pelatih pemenang Piala UEFA (kini Liga Europa) sekelas Wiel Coerver saja didepak, apalagi pelatih lokal.

Wiel Coerver (UEFA.com)
Wiel Coerver (UEFA.com)
Tapi, dibalik antitesis ini, ada sebuah sudut pandang jauh lebih luas, karena PSSI sejak era Iwan Bule sudah mulai berani melihat situasi aktual secara sadar. Ada ketertinggalan sebegitu jauh untuk dikejar.

Apalagi, sepak bola nasional sempat mati suri saat pandemi, dan Timnas Indonesia tak pernah lolos kualifikasi Piala Asia sejak edisi 2004 (penampilan di Piala Asia 2007 didapat karena Indonesia menjadi salah satu tuan rumah).

Jadi, ketika Shin Tae-yong datang dan membangun ulang tim nasional, PSSI tidak punya pilihan selain mendukung. Mereka juga tak bisa berkelit, ketika sang pelatih secara terbuka mengkritisi level stamina dan teknik dasar pemain.

Bagaimana pun, pelatih yang datang kali ini pernah melatih Timnas Korea Selatan di ajang Olimpiade (2016) dan Piala Dunia (2018).Kalibernya jelas jauh lebih tinggi dari pengurus PSSI, yang kadang tidak kompeten, tapi bisa awet bertugas.

Soal prestasi, catatan tanpa trofi STY di Timnas Indonesia memang biasa jadi sasaran empuk para pengkritik, tapi rekam jejaknya (sejauh ini) sudah menjadi satu prestasi transformatif.

Kurang lebih seperti kiprah Marcelo Bielsa di Timnas Chile (2007-2011). Meski "hanya" membawa La Roja lolos ke fase gugur Piala Dunia 2010, pelatih asal Argentina ini dianggap sukses besar, karena mewariskan kerangka tim generasi emas pemenang Copa America 2015 dan 2016.

Prestasi transformatif inilah, yang belakangan membuat El Loco ditunjuk sebagai pelatih Timnas Uruguay, terlepas dari rivalitas panjang Uruguay dan Argentina, plus rekam jejaknya yang juga pernah melatih Timnas Argentina.

Meski levelnya masih di bawah Bielsa, Shin Tae-yong juga telah mencatat satu prestasi transformatif, karena mampu menaikkan Timnas Indonesia ke level lebih tinggi, setingkat demi setingkat.

Bayangkan, sebuah tim yang tadinya terbiasa jadi katak dalam tempurung di level Asia Tenggara, bisa lolos ke babak gugur Piala Asia 2023, dan pelan-pelan memperbaiki posisi di peringkat FIFA. Prestasi ini bahkan lompat ke kurva kedua (meminjam istilah Rhenald Kasali dalam manajemen perubahan) sejak saat itu.

Dengan ide mencari pemain diaspora Indonesia, yang didukung PSSI era Erick Thohir, Timnas U-23 langsung dibawanya lolos ke semifinal dalam debut di Piala Asia U-23 dan berlanjut ke babak akhir Kualifikasi Olimpiade 2024.

Bonusnya, STY menjadi pelatih Timnas Indonesia pertama, yang membawa Indonesia lolos ke dua edisi Piala Asia beruntun, menyusul  kepastian Thom Haye dkk. lolos otomatis ke putaran final Piala Asia 2027.

Memang, ini (sekali lagi) bukan prestasi dalam bentuk trofi juara, tapi bisa membawa tim bersiap menghadapi Australia, Jepang, Tiongkok, Bahrain dan Arab Saudi di Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia adalah satu prestasi istimewa.

Maklum, sebelum eks pelatih Timnas Korea Selatan ini datang, Timnas Indonesia hanya terbiasa menghadapi tim di kawasan ASEAN, paling mentok Thailand atau Vietnam. Selebihnya, sering kalah, bahkan sejak sebelum bertanding, saat menghadapi lawan lebih kuat.

Jenis prestasi seperti ini memang dibenci "glory hunter" dan sejenisnya. Tapi, inilah yang memang dibutuhkan Tim Garuda, untuk bisa terbang tinggi, setahap demi setahap.
Ada pengalaman demi pengalaman di turnamen besar, yang bisa membentuk mental bertanding tim. 

Jenis prestasi ini telah meninggalkan catatan historis di era Pogacnik dulu. Inilah yang rupanya disadari PSSI, karena sejak kedatangan Shin Tae-yong sudah mulai bisa berpikir secara lebih waras.

Toni Pogacnik (Bolatimes.com)
Toni Pogacnik (Bolatimes.com)
Terbukti, PSSI mulai berani menomorduakan Piala AFF, yang sebelumnya bagaikan sebuah obsesi, karena memang bukan turnamen dalam kalender resmi FIFA.

Sisi waras PSSI juga terlihat dari sikap realistis mereka, yang tanpa malu mulai serius menggarap potensi nyata berupa pemain diaspora Indonesia di luar negeri, daripada tetap bermimpi menunggu talenta berkualitas setara Lionel Messi hadir dari sistem pembinaan pemain dan kualitas kompetisi yang masih serba acakadut.

Memang, masih akan ada optimisme lain, karena Tim Merah Putih sudah mulai berani mengedepankan proses dan progres. Tapi, jangan sampai ego sesaat (dari pihak mana pun) merusak itu semua.

Jangan ada lagi narasi "Rindu Juara" yang menyesatkan, karena Timnas Indonesia sejatinya belum pernah meraih trofi apapun di turnamen resmi internasional level senior. Ini tim yang baru mulai berani bertanding dan bermimpi besar, levelnya jelas masih jauh dari penantang juara.

Jadi, ketika suatu saat era kepelatihan STY selesai, dan PSSI harus mengganti pelatih, tim dan pelatih baru yang datang punya kapabilitas untuk membawa Tim Garuda terbang lebih tinggi, bukan kembali jadi katak dalam tempurung.

Bisa?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun