Sepintas, restrukturisasi ala startup terlihat seperti sebuah langkah efisiensi, terutama di era kehadiran AI alias kecerdasan buatan. Masalahnya, "efisiensi" ini lebih banyak menjadi satu kebohongan, karena biaya pengembangan dan operasional teknologi AI masih berada di luar jangkauan.
Meski bisa bekerja tanpa kenal libur dan cuti, AI masih membutuhkan biaya jauh lebih mahal dari tenaga kerja manusia. Jadi, bukan kejutan kalau setelah restrukturisasi karyawan, kinerja bisnis startup masih cenderung jeblok.
Hengkangnya para pimpinan startup secara beruntun lalu menjadi satu fenomena wajar, karena mereka sudah tidak punya lagi "tumbal" untuk dikorbankan. Ketika investor baru masuk, seperti yang terjadi di GoTo setelah mayoritas sahamnya dibeli TikTok, pergi sebelum didepak adalah keputusan paling masuk akal.
Di sisi lain, dinamika di bisnis startup, yang  makin kesini makin terlihat suram, juga menunjukkan, startup hanya menawarkan disrupsi semu, Di awal mungkin terlihat menjanjikan, tapi ternyata menghadirkan kerusakan besar dalam jangka panjang, karena memang tak berkelanjutan.
Lagipula, suntikan dana sebesar apapun pada dasarnya adalah hutang yang suatu saat harus dibayar, bukan aset yang pantas dibanggakan. Inilah salah satu faktor yang membuat startup kekinian sudah bermasalah, bahkan sejak dalam pikiran.
Jika sebuah bisnis (termasuk startup) dibangun diatas tumpukan hutang yang tak "diputar" untuk mencapai profit, dan terlanjur ketagihan mengandalkan suntikan dana, hanya tinggal tunggu waktu saja sebelum masalah dan kerusakan berikutnya datang, dengan dampak yang semakin kompleks.
Mengenaskan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H