Sejak kehadiran pemain-pemain diaspora macam Rafael Struick, Thom Haye dan Justin Hubner di Timnas Indonesia, warganet suporter Indonesia ramai-ramai menyematkan julukan "Timnas Pusat" pada Timnas Belanda.
Maklum, sebagian besar pemain diaspora di Timnas Indonesia (khususnya di level senior) lahir di Belanda. Di luar urusan jejak sejarah masa lalu, Negeri Tulip memang sudah dikenal punya sistem pembinaan pemain yang oke.
Rata-rata pemain profesional di sana juga sudah dibina sejak bocah. Jadi, perkara mendasar seperti teknik mengoper bola atau pola makan sudah cukup terbentuk.
Dengan banyaknya diaspora Indonesia di Belanda, mereka jadi satu potensi nyata yang bisa dioptimalkan. Setidaknya sampai sistem pembinaan pemain muda di Indonesia sudah bisa diandalkan, antara 15-20 tahun lagi, itupun kalau benar-benar dibenahi.
Tapi, kalau melihat bagaimana perjalanan Timnas Belanda dalam beberapa tahun terakhir, ada satu hal yang bisa jadi cerminan buat Timnas Indonesia, yakni fakta soal kurangnya penyerang murni berkualitas.
Sejak berakhirnya kiprah generasi Robin Van Persie, Tim Oranye tinggal punya Memphis Depay dan Wout Weghorst yang sudah berusia 30-an tahun di pos penyerang tengah.
Dari keduanya pun, hanya Weghorst yang merupakan pemain nomor 9 tulen, dan untungnya kerap mencetak gol penting. Seperti gol dalam kemenangan 2-1 Belanda atas Polandia di fase grup Piala Eropa 2024, Minggu (16/6).
Di belakang mereka, memang ada Cody Gakpo (25), Donyell Malen (25), Steven Bergwijn (26) dan Xavi Simons (21). Tapi, mereka adalah tipikal khas pemain sayap yang menyisir dari sisi lapangan, dan "false nine" bukan penyerang tengah murni.
Di Piala Eropa 2024, pelatih Ronald Koeman juga memanggil Brian Brobbey (22) yang naik daun bersama Ajax Amsterdam, dan Joshua Zirkzee (23) yang membantu Bologna lolos ke Liga Champions. Tapi, keduanya baru pertama kali masuk tim nasional di turnamen mayor. Zirkzee bahkan belum pernah mencatat debut senior.
Permasalahan di lini depan ini membuat De Oranje sempat mengalami penurunan performa cukup tajam. Terbukti, mereka sempat tak lolos ke putaran final Piala Eropa 2016 dan Piala Dunia 2018.
Akibat seretnya penyerang murni berkualitas, juara Piala Eropa 1988 ini kerap "dipaksa" memakai pemain-pemain depan yang level performanya jauh dibawah nama-nama besar yang dari generasi ke generasi selalu muncul di lini depan.
Bayangkan, dari era Marco Van Basten, ke Patrick Kluivert dan Ruud Van Nistelrooy, lalu berlanjut ke Robin Van Persie, tapi tongkat estafetnya diteruskan Memphis Depay (yang usai musim 2023-2024 dilepas Atletico Madrid) dan Wout Weghorst (yang dikontrak Burnley sejak 2022, tapi dipinjamkan ke Besiktas, Manchester United dan Hoffenheim).
Fenomena ini sedikit banyak cukup mirip dengan yang terjadi di Timnas Indonesia. Setelah Kurniawan Dwi Yulianto surut, ada Bambang Pamungkas dan Boaz Solossa.
Setelahnya, waktu lama untuk menemukan penyerang bagus, sebelum akhirnya Rafael Struick (21) ditemukan PSSI lewat penelusuran pemain diaspora Indonesia. Sejak pertama kali bergabung, "El Klemer" rutin menjadi andalan lini depan Tim Garuda.
Meski bukan pemain reguler di klub, penyerang ADO Den Haag ini belum punya pelapis atau pesaing sepadan. Ketika dia absen, sistem permainan tim di depan jadi kacau, seperti yang terjadi di semifinal Piala Asia U-23 melawan Uzbekistan.
Karena itulah, segera setelah Timnas Indonesia lolos ke putaran ketiga Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia dan putaran final Piala Asia 2027, PSSI dan pelatih Shin Tae-yong bergerak mencari pemain diaspora Indonesia di Belanda, dengan salah satu target utama pemain depan.
Sebelumnya, sudah ada nama Ragnar Oratmangoen yang sudah bermain dan mencetak satu gol di Timnas Indonesia. Ada juga Jens Raven dan Mauresmo Hinoke (FC Dordrecht U-21) yang sudah memperkuat Timnas U-20 di Turnamen Toulon.
Dari nama-nama yang beredar di media, Â Ole Romeny (24) yang memperkuat FC Utrecht sebenarnya sudah lama disebut sebagai target untuk memperkuat lini depan Timnas Indonesia. Ada juga Dean Zandbergen (22), yang memperkuat Spsrta Rotterdam.
Meski terkesan instan, dan pemain-pemain diaspora yang dibidik bukan pemain kelas dunia, ini bisa menjadi satu "upgrade" yang dibutuhkan buat Timnas Indonesia. Paling tidak, mereka punya masa edar cukup panjang. sehingga ada waktu buat talenta lokal muncul lagi ke permukaan.
Menariknya, keberadaan penyerang "cadangan" di klub yang jadi pemain utama di Timnas Indonesia dan Belanda  membuktikan, seberapa masif fenomena posisi "false nine" menggerus keberadaan posisi penyerang murni. Sama seperti keberadaan posisi nomor punggung 10, yang digerus duet posisi nomor punggung 6 dan 8.
Pada saat bersamaan, keberadaan para penyerang "cadangan" ini juga membuktikan, pemain yang jadi andalan dan bersinar di tim nasional kadang bisa berasal dari pemain yang biasa saja atau hanya cadangan di klub. Mereka inilah yang kadang menjadi solusi kejutan, saat performa pemain yang diharapkan bersinar masih belum sesuai harapan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H