Masuknya Starlink ke Indonesia menghadirkan satu pro-kontra, baik dalam hal isu keamanan siber, kecepatan koneksi, dan harga layanan.
Terlepas dari beragam data-fakta dan opini yang muncul, sebenarnya ini adalah satu terapi kejut yang sangat bagus, khususnya buat penyedia jasa layanan internet dan konsumen di Indonesia.
Bagi penyedia jasa layanan internet di Indonesia, keberadaan layanan milik Elon Musk seharusnya adalah satu peringatan keras, agar mereka mau memperbaiki kualitas layanan.
Sudah jadi rahasia umum kualitas layanan internet di Indonesia masih kurang prima. Gerimis sedikit saja, sinyal bisa bubar, apalagi saat ada gangguan teknis. Solusi paling umum yang diberikan hanya restart modem, sekalipun masalahnya tidak terletak pada modem.
Ajaibnya, di saat kualitas layanan konsisten seadanya, tarif layanan internet cenderung naik secara konsisten, mengikuti laju inflasi. Realita ini masih ditambah dengan kecepatan koneksi internet Indonesia yang masih "kelas menengah ke bawah" di kawasan ASEAN.
Terlepas dari luasnya wilayah Indonesia secara geografis, kecepatan internet di Indonesia memang sejalan dengan quote tersohor seorang Menkominfo pada eranya: "internet cepat buat apa?".
Jadi, normal kalau progres level teknologi internet di Indonesia cenderung santai. Pada titik tertentu, progresnya bahkan terlalu santai.
Di saat ponsel teknologi 5G mulai bermunculan, koneksi 4G saja masih belum merata di Indonesia. Masih ada banyak daerah "susah sinyal" di Indonesia, karena proyek untuk membangun infrastrukturnya dikorupsi seorang oknum Menkominfo, dengan angka mencapai triliunan rupiah.
Dengan situasi seperti itu, wajar jika kedatangan Starlink ke Indonesia menghadirkan pro-kontra. Maklum, koneksi internet yang ditawarkan berbasis satelit di luar angkasa, dan tidak bergantung pada keberadaan menara pemancar.
Kelebihan ini menjadi satu kejutan ampuh buat para penyedia jasa layanan internet di Indonesia, baik plat merah maupun swasta, karena kemampuan dan jangkauan  sinyal yang ditawarkan sungguh prima.
Mau cuaca buruk atau di daerah pelosok sekalipun, sinyal dan koneksinya lancar jaya. Konsumen juga tak keberatan dengan harga layanan dan peranti yang mahal, karena kualitasnya memang terbukti oke.
Bonusnya, tidak ada akal-akalan seperti tarif batasan "Fair Usage Policy" alias FUP pada paket "unlimited, yang jadi hal biasa di negara tersayang. Kualitas seperti ini jelas bukan tandingan mereka yang terlanjur "keenakan" di zona nyaman.
Jadi, agak konyol kalau mereka mengeluh soal kehadiran Starlink, yang dianggap menciptakan persaingan tidak sehat. Padahal, selama ini mereka sudah lebih dulu memberikan layanan alakadarnya, dan hanya memberi konsumen opsi "take it or leave it" setiap kali harga naik atau ada gangguan teknis.
Daripada merengek ke pemerintah,
seharusnya, mereka bisa mulai memperbaiki diri. Merengek, memainkan isu sensitif atau berkilah saja tidak akan menyelesaikan masalah.
Ini justru merupakan cara paling memalukan untuk mengakui secara terbuka, seberapa bobrok segala aspek yang ada, bahkan sejak dalam pikiran.
Kalaupun masih enggan berbenah, mereka masih bisa memanfaatkan daya beli golongan masyarakat yang relatif tidak terlalu tinggi, akibat laju inflasi, tarif pajak, dan kenaikan harga yang jauh lebih cepat daripada kenaikan upah.
Dari sisi konsumen, keberadaan Starlink menjadi satu hal menarik, ditengah banyak masalah soal kualitas layanan, harga dan sinyal yang tak kunjung beres.
Tapi, dengan tarif layanan internet (per bulan) mulai 750 ribu rupiah untuk personal, dan 1,1 juta rupiah per bulan untuk bisnis, ditambah harga perangkat berkisar antara 4,6 juta rupiah untuk paket standar dan 7,8 juta rupiah untuk paket prioritas, konsumen jelas diajak untuk melihat lagi, apakah ini sesuai jangkauan atau tidak.
Penyadaran seperti ini mungkin terkesan kasar, tapi menjadi penting, supaya konsumen bisa mulai terbiasa "belanja sesuai kebutuhan dan anggaran". Kalau Starlink ternyata tidak sesuai jangkauan atau dirasa terlalu mahal, tak perlu kecil hati, karena Starlink memang hanya menyasar golongan konsumen tertentu, bukan semua lapisan.
Jadi, daripada hanya menjadi pro-kontra berlarut-larut, seharusnya keberadaan Starlink di Indonesia bisa menjadi satu medium penyadaran kepada konsumen untuk tidak terlalu "FOMO" dan belanja sesuai kebutuhan, seperti halnya perbaikan kualitas di segala aspek, bagi penyedia jasa layanan internet di Indonesia.
Bisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H