Dalam beberapa hari terakhir, pendapat publik sepak bola nasional, khususnya terkait peningkatan jumlah suporter wanita yang hadir di stadion, khususnya saat Timnas Indonesia bertanding menjadi satu sorotan menarik.
Disebut demikian, karena fenomena ini tidak rutin terjadi, dan bukan "budaya umum" di sepak bola nasional. Maklum, pertandingan sepak bola nasional kadang kurang aman untuk wanita dan anak-anak, akibat masih tingginya potensi gesekan antarsuporter.
Tapi, sejak kemunculan pemain diaspora seperti Nathan Tjoe-A-On, Justin Hubner, dan Rafael Struick, jumlah suporter wanita yang menonton langsung di stadion cenderung meningkat. Ini setidaknya sudah terlihat di laga Tim Garuda melawan Tanzania, akhir pekan lalu.
Meski tim asuhan Shin Tae-yong bermain di bawah cuaca terik dan laga berakhir imbang tanpa gol, animo suporter wanita cukup tinggi, terutama saat Nathan Tjoe-A-On masuk lapangan dan Rafael Struick memegang bola.
Untuk ukuran sebuah pertandingan latihan, di stadion berkapasitas relatif jauh lebih kecil (jika dibanding Stadion Utama Gelora Bung Karno) suasana di pemandangan ini terbilang tak biasa.
Memang, ada kritik karena suporter wanita di pertandingan ini lebih asyik mendukung aksi pemain seperti Nathan Tjoe-A-On dan Rafael Struick saja, atau bermain ponsel. Pada titik ekstrem, ada yang menyebut mereka sebagai suporter "FOMO".
Ada juga kritik atas kehadiran mereka, yang membuat suasana jadi "agak lain", di pertandingan melawan tim dari Afrika Timur itu. Kurangnya yel-yel dan sorakan "menikmati momentum" khas suporter sepak bola, membuat suasana di stadion jadi kurang "greget".
Tapi, di balik fenomena tak biasa ini, ada peluang buat PSSI, untuk mulai serius menertibkan suporter, jika mau memanfaatkan momentum. Kebetulan, masalah ketertiban suporter masih menjadi satu PR besar di sepak bola nasional.
Disadari atau tidak, semakin banyak jumlah wanita dan anak-anak yang datang ke stadion, semakin besar rasa aman yang hadir. Inilah momentum yang seharusnya bisa dimanfaatkan PSSI.
Untuk saat ini, PSSI sudah melakukan metode "filter", dengan memasang harga tiket lebih mahal di dua laga kandang Kualifikasi Piala Dunia zona Asia (vs Irak dan Filipina). Terlepas dari protes yang ada, metode ini sudah biasa diterapkan di liga-liga Eropa maupun turnamen mayor, dan terbukti sukses menekan angka kerusuhan suporter.
Jelas, dengan harga tiket mahal, oknum suporter yang ingin berbuat onar akan berpikir ulang sebelum berulah. Tapi, dengan naiknya tren kehadiran suporter wanita di stadion, ada kesempatan untuk membangun persepsi positif bagi sepak bola nasional.
Selama PSSI mau aktif mengedukasi suporter, termasuk suporter wanita, seharusnya ada perbaikan lain yang bisa diwujudkan. Dengan ketertiban dan rasa aman yang terbangun rapi, menonton langsung pertandingan sepak bola seharusnya merupakan satu hal yang jauh dari kesan seram.
Lagipula, diluar nilai universal kebersamaan lintas batas khas sepak bola, ada juga nilai universal berupa tanggung jawab dan sikap sportif yang harus seiring sejalan. Dengan demikian, "beautiful game" bisa terwujud nyata, bukan hanya di lapangan hijau, tapi mampu menjangkau pribadi tiap suporter.
Bisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H