Mohon tunggu...
Yose Revela
Yose Revela Mohon Tunggu... Freelancer - Freelance

YNWA. Wonosobo, 14 Juli 1992 yoserevela@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Bola Artikel Utama

Kompany, antara Keputusan Panik dan Strategi "Copy-Paste" Bayern Munich

26 Mei 2024   13:01 Diperbarui: 27 Mei 2024   07:47 757
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Setelah melalui berbagai spekulasi, ditambah penolakan dari kandidat ke kandidat, Bayern Munich akhirnya menunjuk Vincent Kompany sebagai pelatih baru tim untuk musim 2024-2025. Pelatih asal Belgia ini diikat kontrak selama 3 tahun, setelah didatangkan dari Burnley.

Kalau melihat profilnya sebagai pelatih, sebenarnya ini keputusan yang tidak biasa. Terlepas dari filosofi sepak bola menyerang yang dianutnya, Kompany masih minim pengalaman dan prestasi sebagai pelatih. Bayern juga bukan tim yang berani merekrut pelatih muda berprofil seperti ini.

Memang, sebelum Kompany, The Bavarians pernah merekrut Julian Nagelsmann pada tahun 2021. Tapi, pelatih kelahiran tahun 1987 ini datang setelah mengantar Hoffenheim tampil di Liga Champions, dan membawa RB Leipzig lolos ke semifinal Liga Champions dan final DFB Pokal.

Dengan kata lain, Nagelsmann sudah punya modal pengalaman dan kapabilitas oke, dengan membawa timnya ke papan atas Bundesliga, plus babak akhir kompetisi antarklub Eropa dan piala domestik. Inilah yang belum dimiliki Kompany, dalam karier kepelatihannya.

Meski mampu membawa The Clarets promosi ke kasta tertinggi Liga Inggris, sebagai juara Championship Division musim 2022-2023, dengan meraih 101 poin, Kompany ini langsung terdegradasi di musim 2023-2024, setelah hanya meraih 24 poin.

Jelas, untuk ukuran pelatih, eks kapten Manchester City ini masih dalam tahap membangun konsistensi di kompetisi level atas. Jadi, kepindahannya ke Bayern adalah satu lompatan sangat besar.

Sebelum mencicipi kerasnya Liga Inggris, pengalaman melatihnya hanya di Anderlecht (Belgia) antara tahun 2019-2022. Mengawali karier kepelatihan sebagai pemain-pelatih di klub masa mudanya, Kompany mampu membawa klub ibu kota Belgia itu ke final Piala Belgia, juara ketiga di liga domestik, dan babak akhir Kualifikasi Europa Conference League.

Sebenarnya, ini bukan awalan yang jelek, karena klub tersukses di Liga Belgia (34 kali juara) memang sedang dalam masa paceklik prestasi sejak tahun 2017. Masalahnya, belum sempat membangun prestasi lebih jauh, kesempatan melatih Burnley keburu datang dan disambarnya.

Memang, ada potensi menarik, karena karier melatihnya langsung dimulai di level tim senior sejak berusia 33 tahun. Jadi, ia memang sudah terbiasa melatih tim senior.

Ditambah lagi eks kapten Timnas Belgia ini pernah dilatih Pep Guardiola di Manchester City antara tahun 2016-2019. Pengalaman sebagai "murid" salah satu pelatih top terbukti menjadi satu modal berharga dalam merintis karier kepelatihan.

Karena itulah, Bayern Munich berani membayar kompensasi sebesar 12 juta euro untuk mendatangkannya. Nominal ini cukup masuk ke akal, karena kontrak Kompany di Burnley masih berlaku sampai tahun 2028.

(Mirror.co.uk)
(Mirror.co.uk)

Bundesliga Jerman sendiri bukan tempat asing buat Kompany. Sebelum menjadi kapten dan panen prestasi di Manchester City, ia pernah bermain di Bundesliga dan meraih satu trofi Piala Intertoto (setara UEFA Europa Conference League) bersama Hamburg SV, antara tahun 2006-2008.

Tapi, kedatangannya sebagai pelatih juga memperlihatkan, seberapa panik manajemen Bayern Munich. Maklum, penolakan demi penolakan dari sejumlah pelatih top membuat mereka kehabisan pilihan, dan jika pelatih baru tidak datang sebelum awal bulan Juni, rencana dan persiapan pramusim tim bisa kacau.

Di sisi lain, manajemen Die Roten juga terlihat seperti berupaya melakukan "copy paste" strategi rekrutmen pelatih, seperti yang dilakukan Bayer Leverkusen saat mendatangkan Xabi Alonso.

Memang, strategi Bayer Leverkusen sukses besar, karena Alonso mampu membawa tim bermateri relatif biasa (saat kedatangannya) menjadi tim yang mengawinkan gelar Bundesliga Jerman dan DFB Pokal.

Tapi, sebelum itu, sang pelatih sudah mulai berproses di musim sebelumnya, dengan membawa tim lolos ke semifinal Europa League dan mengangkat posisi tim, dari papan bawah ke peringkat 6.

Die Werkself sendiri juga bukan tipikal tim yang punya target juara tiap musim. Jadi Alonso dan para pemain bisa leluasa berkembang dan menggebrak di Jerman.

Keleluasaan ini belum tentu dimiliki Kompany di Allianz Arena, karena tradisi dan reputasi klub sebagai tim langganan juara di Jerman.

Strategi "copy paste" seperti ini juga lumayan riskan. Pada dekade lalu, ini pernah terjadi di sejumlah klub Eropa, kala mereka coba mempekerjakan pelatih muda minim pengalaman di level atas (beberapa diantaranya eks pemain terkenal) dengan harapan bisa mengulang cerita sukses Barcelona era Pep Guardiola.

Tapi, banyak klub yang akhirnya malah gagal total. AS Roma hanya sebentar bersama Luis Enrique, seperti halnya AC Milan bersama Clarence Seedorf. Ada juga yang meraih prestasi di kompetisi domestik, tapi menghilang setelahnya, seperti pada kasus Phillip Cocu (PSV Eindhoven) dan Frank De Boer (Ajax Amsterdam).

Kasus yang sukses besar malah datang dari pelatih yang awalnya kurang disorot, seperti pada kasus Diego Simeone, yang panen prestasi dan awet di Atletico Madrid. Begitu juga dengan Zinedine Zidane di periode pertamanya bersama Real Madrid (2016-2016) yang memulai tugas kala performa El Real sedang tidak stabil.

Di dekade terkini, ada Andrea Pirlo (Juventus) dan Xavi Hernandez (Barcelona) yang sama-sama dicopot karena tak mampu memenuhi ekspektasi tinggi manajemen klub. Meski mampu meraih gelar domestik, kedua maestro lini tengah ini dianggap gagal oleh manajemen klub.

Dengan dinamika kompetitif dan tingkat kesabaran setipis tisu di era kekinian, keputusan Bayern Munich mendatangkan Kompany adalah satu spekulasi. FC Hollywood jelas bukan Arsenal yang sangat sabar pada Mikel Arteta.

Kalau mereka (kali ini) punya sedikit kesabaran, eks bek andalan Timnas Belgia ini bisa menjadi lawan tanding Xabi Alonso di Bayer Leverkusen. Dengan catatan, ia diberi keleluasaan menerapkan idenya, yang dalam banyak hal cukup dipengaruhi gaya Pep Guardiola.

Disadari atau tidak, selepas ditinggal Julian Nagelsmann, Bayern belum lagi punya karakter dan sistem permainan yang jelas. Pragmatisme di bawah Thomas Tuchel membuat Manuel Neuer dkk kehilangan karakter dan lebih mudah diantisipasi lawan.

Jika memang ingin membangun ulang tim dengan identitas baru, ide Bayern mendatangkan Kompany memang masuk akal. Tapi, ini merupakan satu taruhan besar, terutama jika mengingat ongkos transfernya yang cukup mahal untuk ukuran pelatih muda minim pengalaman di level atas.

Kalau berhasil, kita akan melihat kembali sebuah tim dengan konsistensi seperti mesin diesel yang sudah panas, dan bukan tidak mungkin melangkah jauh di Eropa. Kompany pun bisa mulai membangun reputasi sebagai " pelatih murid Pep Guardiola yang potensial."

Tapi, kalau gagal, sepertinya periode kekacauan di tim raksasa Jerman ini masih akan berlanjut, dan penunjukan Vincent Kompany di pos pelatih akan punya sebuah kisah kurang mengenakkan, karena klub membayar kompensasi belasan juta euro, hanya untuk sebuah periode singkat yang gagal total.

Bagaimanakah kiprah Vincent Kompany sebagai pelatih Bayern Munich?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun