Karena itulah, Bayern Munich berani membayar kompensasi sebesar 12 juta euro untuk mendatangkannya. Nominal ini cukup masuk ke akal, karena kontrak Kompany di Burnley masih berlaku sampai tahun 2028.
Bundesliga Jerman sendiri bukan tempat asing buat Kompany. Sebelum menjadi kapten dan panen prestasi di Manchester City, ia pernah bermain di Bundesliga dan meraih satu trofi Piala Intertoto (setara UEFA Europa Conference League) bersama Hamburg SV, antara tahun 2006-2008.
Tapi, kedatangannya sebagai pelatih juga memperlihatkan, seberapa panik manajemen Bayern Munich. Maklum, penolakan demi penolakan dari sejumlah pelatih top membuat mereka kehabisan pilihan, dan jika pelatih baru tidak datang sebelum awal bulan Juni, rencana dan persiapan pramusim tim bisa kacau.
Di sisi lain, manajemen Die Roten juga terlihat seperti berupaya melakukan "copy paste" strategi rekrutmen pelatih, seperti yang dilakukan Bayer Leverkusen saat mendatangkan Xabi Alonso.
Memang, strategi Bayer Leverkusen sukses besar, karena Alonso mampu membawa tim bermateri relatif biasa (saat kedatangannya) menjadi tim yang mengawinkan gelar Bundesliga Jerman dan DFB Pokal.
Tapi, sebelum itu, sang pelatih sudah mulai berproses di musim sebelumnya, dengan membawa tim lolos ke semifinal Europa League dan mengangkat posisi tim, dari papan bawah ke peringkat 6.
Die Werkself sendiri juga bukan tipikal tim yang punya target juara tiap musim. Jadi Alonso dan para pemain bisa leluasa berkembang dan menggebrak di Jerman.
Keleluasaan ini belum tentu dimiliki Kompany di Allianz Arena, karena tradisi dan reputasi klub sebagai tim langganan juara di Jerman.
Strategi "copy paste" seperti ini juga lumayan riskan. Pada dekade lalu, ini pernah terjadi di sejumlah klub Eropa, kala mereka coba mempekerjakan pelatih muda minim pengalaman di level atas (beberapa diantaranya eks pemain terkenal) dengan harapan bisa mengulang cerita sukses Barcelona era Pep Guardiola.
Tapi, banyak klub yang akhirnya malah gagal total. AS Roma hanya sebentar bersama Luis Enrique, seperti halnya AC Milan bersama Clarence Seedorf. Ada juga yang meraih prestasi di kompetisi domestik, tapi menghilang setelahnya, seperti pada kasus Phillip Cocu (PSV Eindhoven) dan Frank De Boer (Ajax Amsterdam).