Judul di atas mungkin terasa kontradiktif, tapi menjadi satu korelasi unik, ketika Plt. Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Prof. Tjitjik Tjahjandarie menyebut kuliah sebagai satu kebutuhan tersier atau pendidikan tersier.
Secara sistem dan program pemerintah, kuliah memang tidak masuk dalam program wajib belajar 12 tahun yang dicanangkan pemerintah sejak tahun 2015. Program ini merupakan "upgrade" dari program wajib belajar 9 tahun yang sudah lebih dulu eksis.
Jadi, secara teori dan sistem, pendapatan sang Profesor tidak salah. Masalahnya, ketika kata-kata itu dihubungkan dengan realita yang ada, pendapat soal kuliah sebagai satu kebutuhan tersier justru tidak relevan.
Di banyak lowongan kerja, baik di instansi pemerintah maupun swasta, pendidikan minimal S1 atau sarjana biasa menjadi satu syarat utama. Ini baru syarat pendidikan minimal, belum termasuk skor IPK minimal, kampus almamater, usia, pengalaman kerja, dan berbagai printilan lain.
Bisa dibilang, pendidikan minimal S1 justru menjadi satu syarat primer. Seleksi CPNS dan BUMN saja menetapkan syarat ini di sebagian besar posisi. Dengan realita seperti itu, apa iya kuliah "hanya" merupakan kebutuhan tersier?
Pendapat sang pejabat Kemendikbud Ristek ini jelas sebuah blunder, karena bagi banyak orang, pendidikan tinggi adalah satu kesempatan memperbaiki nasib. Makanya, banyak orang tua yang berkorban begitu banyak, demi bisa membiayai kuliah anaknya.
Terlepas dari tren kerja kontrak jangka pendek yang belakangan muncul di dunia kerja era kekinian, khususnya di Indonesia, syarat pendidikan sarjana toh masih jadi satu kriteria paling umum.
Pendidikan menengah pun sebenarnya punya ruang di industri padat karya atau pekerjaan dengan keterampilan khusus seperti tata boga, akuntansi atau pelayaran. Masalahnya, untuk kategori keterampilan khusus, pendidikan atau pelatihan lanjut masih dibutuhkan, dengan level setara diploma atau sarjana.
Otomatis, pendidikan tinggi bukan kebutuhan tersier, khususnya pada tingkat awal setelah pendidikan menengah. Pendidikan tinggi alias kuliah baru bisa dibilang kebutuhan tersier, jika konteksnya studi lanjut seperti program master, karena sifatnya memang opsional, bukan wajib atau fundamental seperti program sarjana.
Meski nanti ada klarifikasi setelah gaduh yang ada (seperti biasa), persepsi "tersier" pada pendidikan tinggi, termasuk sarjana, rawan menjadi satu blunder yang menjadi alasan valid kenapa kuliah tak lagi jadi pilihan di masa depan.
Pejabat di bidangnya, yang bahkan bertitel akademik Profesor sudah mengeluarkan pernyataan yang malah memperjelas keruwetan yang ada di dunia pendidikan nasional.
Sudah kenaikan biayanya "diluar nurul", kurikulumnya terlalu ruwet, kesempatan kerja pun tidak pasti. Apa lagi yang bisa diharapkan? Apakah Indonesia Emas sebenarnya hanya topeng dari Indonesia Cemas?
Daripada hanya membuat pernyataan blunder dan klarifikasi, sudah saatnya pemerintah mengkaji ulang dan memperbaiki kekurangan yang ada.
Jangan sampai perbaikan itu baru dilakukan, setelah ada pergeseran minat dari perguruan tinggi negeri ke swasta, akibat perbedaan biaya yang jomplang. Malu dan ruginya berkali-kali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H