Di sepak bola nasional sendiri, masalah ini sudah pernah terjadi di Timnas U-16 generasi Ernando Ari dkk, dan Timnas U-19 angkatan Egy Maulana Vikri dkk. Mereka sama-sama mampu lolos ke babak perempat final Piala Asia di level kelompok umur masing-masing.
Tapi, tak banyak yang bisa "naik kelas" ke level kelompok umur berikutnya, apalagi naik ke tim nasional senior. Tingginya harapan publik sepak bola nasional, ditambah aneka masalah pada sang pemain, akhirnya malah menciptakan cerita "layu sebelum berkembang" yang selalu ada dari generasi ke generasi.
Cerita serupa juga bisa terjadi di Timnas U-23 yang menjadi semifinalis Piala Asia U-23. Bukan karena pesimis atau semacamnya, tapi karena sepak bola nasional sudah punya catatan rekam jejak seperti itu, dan fenomena ini sudah umum terjadi di sepak bola secara umum.
Di sepak bola dunia, sudah ada begitu banyak cerita soal juara kelompok umur yang melempem di level berikutnya.
Sebagai contoh, Timnas Nigeria merupakan tim tersukses di Piala Dunia U-17 (5 kali juara) dan beberapa kali meraih medali di Olimpiade, termasuk medali emas di edisi 1996.
Tapi, ketika naik kelas ke level senior para pemain dari tim juara di kelompok U-17 ini malah kesulitan berprestasi di level Piala Dunia U-20 dan senior. Tingginya harapan karena juara di level sebelumnya, ditambah aneka masalah pada pemain tertentu, benar-benar sukses merusak tim yang seharusnya bisa lebih berkembang.
Malah, tim yang sukses meraih prestasi sebagian pemainnya bukan dari Timnas U-17 yang pernah juara dunia. Karena itulah, publik sepak bola nasional seharusnya perlu menyadari, ada di mana posisi dan arah tim nasional Indonesia.
Jangan sampai, kejutan besar di Piala Asia menjadi satu-satunya, hanya karena dirusak perilaku toksik orang-orang lupa daratan yang tidak menghargai proses atau hanya ingin FOMO.
Membuat satu prestasi historis memang keren, tapi bukan berarti boleh lupa diri, karena ada tantangan besar yang harus dihadapi, supaya bisa konsisten bahkan lebih baik. Jika gagal, jangan salahkan siapapun selain diri sendiri, jika ada pendapat begini: prestasi hebat di masa lalu itu hanya satu kebetulan.
Bisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H