Timnas U-23 telah memulai kiprah di Piala AFC U23 dengan kekalahan 0-2 atas Qatar. Meski kalah, Garuda Muda cukup mampu mengimbangi permainan tim tuan rumah, bahkan saat kalah jumlah pemain.
Makanya, sorotan terbesar publik sepak bola nasional soal hasil pertandingan ini tidak datang dari aspek performa tim, tapi keputusan wasit dan VAR, yang cenderung lebih menguntungkan Qatar.
Tapi, daripada hanya membahas soal kinerja wasit, kita perlu melihat aspek lain, yang menjadi "mental block" Timnas U-23, yang sebenarnya ikut berpengaruh terhadap hasil akhir pertandingan.
Sebenarnya, masalah lama ini sudah mulai dibenahi sejak pelatih Shin Tae-yong bertugas. Hasilnya Timnas Indonesia (di berbagai kelompok umur) bisa tampil lebih percaya diri di ajang tingkat benua. Bukan hanya di SEA Games dan Piala AFF seperti dulu.
Mereka bukan lagi tim yang langsung minder sebelum bertanding, karena kepercayaan diri telah membuat para pemain setidaknya sedikit lebih waspada. Ada rencana taktik yang berjalan, dari yang sebelumnya terlihat serampangan.
Kepercayaan diri ini juga telah membuat para pemain Timnas U-23 lebih berani berekspresi. Reaksi para pemain setelah kekalahan melawan Qatar, Senin (17/4) lalu menunjukkan itu, dan respons publik sepak bola nasional membuat suasana terasa lebih hangat.
Soal stamina, gemblengan keras eks pelatih Timnas Korea Selatan ini juga mulai menunjukkan hasil yang oke. Tim yang tadinya biasa kehabisan bensin setelah menit ke 60, mampu tetap "fight" selama 90 menit plus "injury time", bahkan saat kalah jumlah pemain akibat kena kartu merah wasit.
Dengan kombinasi progres seperti itu, ada minimal sedikit rasa bangga saat menonton aksi tim di lapangan hijau. Akhirnya, momen saat lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang sebelum "kick off" bukan hanya jadi satu-satunya bagian membanggakan saat Timnas Indonesia (di berbagai kelompok umur) bertanding.
Tapi, dibalik kemajuan yang ada, masih ada masalah "mental block" lain yang belum beres, yakni kesulitan saat menghadapi tim yang cenderung "tricky" seperti Qatar dan tim-tim dari Timur Tengah pada umumnya, atau tim yang secara taktik bermain sangat rapi seperti Jepang dan Australia.
Di level senior, masalah ini terlihat saat Timnas Indonesia takluk 1-3 dari Irak dan Jepang, juga saat takluk 0-4 dari Australia. Kekalahan 1-5 atas Irak di Kualifikasi Piala Dunia 2026 juga memperlihatkan masalah serupa.
Di level U-23, masalah ini juga masih terlihat, saat Witan Sulaeman dkk takluk 0-2 dari Qatar. Terlepas dari masalah kualitas kepemimpinan wasit, permainan "tricky" Qatar mampu menghasilkan masalah dan kesulitan tersendiri.
Selain gol-gol yang berasal dari tendangan penalti dan tendangan bebas, kartu merah yang didapat Ivar Jenner dan Ramadhan Sananta membuktikan, Qatar punya strategi "furbizia" (seni berbuat licik) ala Italia, sebagai rencana B. Khususnya saat rencana taktik yang "bersih" macet.
Taktik "nakal" ini adalah satu fenomena umum di sepak bola, yang biasanya dipakai untuk merusak momentum atau memprovokasi lawan supaya kehilangan fokus.
Pada laga melawan Timnas U-23, Qatar memanfaatkan betul strategi ini, termasuk dalam hal memperlambat tempo permainan lewat aksi "pura-pura cedera parah" dari beberapa pemain, saat Timnas U-23 dalam situasi menyerang.
Inilah masalah sekaligus PR yang belum beres, dan harus diwaspadai di Piala Asia U-23. Kebetulan, setelah "dikadali" Qatar, Australia dan Yordania sudah menunggu di pertandingan berikutnya.
Jadi, daripada hanya berlarut-larut memikirkan kinerja wasit dan previlese Qatar sebagai tuan rumah Piala Asia U-23, akan lebih baik kalau kekalahan melawan tim asuhan Ilidio Vale (Portugal) ini dijadikan evaluasi, supaya tim bisa bermain taktis sekaligus cerdik (bahkan licik jika dibutuhkan) tanpa lupa untuk tetap sportif.
Inilah level kesulitan berikutnya buat Timnas Indonesia secara umum, setelah masalah stamina bisa diatasi. Boleh dibilang, level kesulitan Timnas Indonesia sudah naik kelas bersama Shin Tae-yong, karena sudah mampu memaksa tim lawan menerapkan strategi "furbizia".
Soal situasi "bangkit setelah tumbang" Timnas U-23 bisa mengambil inspirasi dari aksi "comeback" Borussia Dortmund dan PSG saat mendepak Atletico Madrid dan Barcelona di perempatfinal Liga Champions 2023-2024, Rabu (17/4, dinihari WIB).
Mereka sama-sama sukses mengalahkan tim jagoan Liga Spanyol yang cenderung taktis, dan terkadang "tricky", karena sudah belajar betul dari kekalahan di leg pertama.
Alih-alih mengikuti alur dan termakan jebakan taktik lawan, Dortmund dan PSG sama-sama merusak rencana taktik tim lawan dan mendikte situasi untuk meraih kemenangan. Saat muncul situasi tak terduga, mereka sama-sama tetap kalem dan mampu mengepak tiket ke semifinal Liga Champions.
Memang, level kualitas kompetisinya masih jauh lebih baik dari Piala Asia U-23, tapi setidaknya bisa menjadi satu inspirasi buat Timnas U-23, supaya tidak terjebak situasi yang sama. Contoh cukup sekali, sisanya eksekusi hasil akhir.
Bisa?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H