Judul di atas adalah satu pertanyaan yang muncul, setelah Liverpool tumbang 0-3 dari Atalanta di Anfield, Jumat (12/4, dinihari WIB). Dengan hasil ini, langkah mereka di Liga Europa terancam berakhir di babak perempatfinal.Â
Sebelumnya, Liverpool hampir saja tumbang di Liga Inggris, saat bermain imbang 2-2 melawan Manchester United di Old Trafford. Hasil ini membuat Arsenal yang unggul selisih gol menguasai puncak klasemen sementara Liga Inggris.Â
Dengan performa tim yang sebenarnya terbilang meningkat dari musim lalu, sebenarnya langkah tim asuhan Juergen Klopp sudah terbilang lumayan. Apalagi trofi Carabao Cup sudah didapat dan kesempatan lolos ke Liga Champions cukup terbuka.
Satu hal lain yang membuat kiprah Mohamed Salah dkk layak diapresiasi adalah, keterlibatan beberapa pemain muda lulusan akademi, seperti Bobby Clark, Connor Bradley, Jarrel Quansah, Jayden Danns, dan kiper cadangan Caomihin Kelleher.
Mereka mampu mengisi kekosongan akibat cedera sejumlah pemain senior, seperti Trent Alexander-Arnold, Diogo Jota, Alisson dan Joel Matip. Begitu juga saat Mohamed Salah dan Wataru Endo absen karena tugas negara dan cedera di awal tahun 2024.
Berkaca dari rekam jejak Liverpool selama era Juergen Klopp, badai cedera pemain sebenarnya bukan pertama kali terjadi. Salah satunya, ketika mereka dengan susah payah finis di posisi tiga besar Liga Inggris musim 2020-2021, setelah cedera Virgil Van Dijk, Joel Matip dan Joe Gomez menciptakan krisis berat di lini belakang.
Tapi, yang terjadi di musim 2023-2024 terbilang istimewa, karena sukses meraih trofi Carabao Cup dan masih bersaing di pacuan juara liga. Satu situasi yang jelas sulit terjadi, khususnya jika sebuah tim rutin diganggu masalah cedera.
Jelas, ada ketangguhan mental yang hadir di sini. Masalahnya, tim yang terlibat di pacuan juara dalam kondisi babak belur cenderung lebih cepat kehabisan bensin, khususnya saat masa krusial mulai datang.
Pada tim yang relatif bebas masalah cedera saja, beratnya tekanan mental kadang bisa membuat limbung. Apalagi kalau tim itu akrab dengan masalah cedera, dan mengandalkan pemain muda atau minim pengalaman.
Sekalipun ada pemain dan pelatih berpengalaman di sana, kelelahan mental bukan satu masalah yang bisa diperbaiki dalam waktu singkat. Di Liverpool sendiri, masalah kelelahan mental menjadi satu penyebab performa ambyar tim sepanjang musim 2022-2023.
Ketika itu, The Kop secara tim masih kelelahan secara mental, karena berpacu sampai akhir di Liga Inggris, Carabao Cup, Piala FA dan Liga Champions musim 2021-2022. Sebuah situasi yang sempat memunculkan narasi soal Quadruple Winner, sama seperti di awal tahun 2024.
Meski berhasil mengawinkan titel Piala FA dan Carabao Cup, kelelahan mental, ditambah rasa sakit karena kalah di final Liga Champions dan pacuan juara Liga Inggris, membuat performa Si Merah di musim baru jadi berantakan.
Kekacauan yang ada semakin sempurna, ketika masalah cedera dan performa inkonsisten muncul bagai tanpa putus. Memang, ada perbaikan di akhir musim, tapi semua sudah terlambat.
Berangkat dari pengalaman di masa lalu, dan situasi yang belakangan muncul, rasanya perpisahan Liverpool dengan Juergen Klopp tidak akan menjadi satu perpisahan sempurna.
Meski begitu, dengan kekacauan yang ada di musim 2022-2023 dan peningkatan yang hadir sepanjang musim 2023-2024, akan  kurang realistis untuk mengejar juara sebanyak mungkin, karena tim saat ini masih belum cukup mampu menghadapi tekanan di fase krusial.
Menariknya, kalau dirunut lagi, masalah tekanan mental di Liverpool ini sejalan dengan alasan Juergen Klopp mundur di akhir musim 2023-2024. Seperti diketahui, pelatih asal Jerman ini berencana mundur, karena mengalami "kelelahan mental".
Meski Liverpool bukan jenis tim yang sangat ambisius meraih trofi, keinginan konstan untuk terus berprogres dan berprestasi dari eks pelatih Borussia Dortmund ini memang membuat para pemain berkembang.
Prestasi demi prestasi memang datang, tapi ketika titik jenuh datang, ini bisa sangat merusak. Kalau perjalanan The Reds musim 2023-2024 menjadi antiklimaks akibat kelelahan mental, seharusnya ini bisa jadi kesempatan ideal untuk memulai era baru, dengan kondisi mental lebih segar.
Dengan kegagalan sebelum mencapai fase akhir atau final, ada satu momen untuk menata ulang. Pada akhirnya, kegagalan sebelum di fase akhir tidak selamanya buruk atau payah, karena ada kesempatan lebih lama untuk melihat kembali sebelum "move on" dengan mantap.
Tapi, kalau Carabao Cup ternyata bukan trofi terakhir Juergen Klopp di Anfield, semoga itu tidak menciptakan euforia berlebih, tapi sebuah perpisahan manis, menuju era baru di klub Merseyside.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H