Realita kompleks ini antara lain terangkum dalam lagu "Jakarta", yang dibawakan Trio Laleilmanino bersama Diskoria berikut ini:
Meski kotanya sudah begitu padat, macet, berpolusi tinggi dan sering banjir, daya tarik itu tetap kuat. Besaran upah yang cukup relevan dengan harga kebutuhan pokok (selama tidak hedonis dan konsumtif) masih memberi cukup ruang untuk (minimal) sedikit menabung secara rutin.
Karakteristik upah yang bisa ditabung ini menjadi satu nilai plus, karena di daerah-daerah dengan angka UMR rendah, ruang untuk menabung nyaris tak ada, bahkan minus, kecuali jika masih tinggal dengan orang tua, atau punya kerja sampingan.
Disadari atau tidak, posisi Jakarta sebagai tempat tujuan kerja juga menunjukkan, seberapa besar masalah ketimpangan ekonomi yang ada, antara Jakarta dan daerah asal para pelaku urbanisasi.
Disaat inflasi dan kenaikan harga rutin terjadi, besaran UMR di berbagai daerah memang ikut naik secara berkala, tapi ada yang "pertambahan argo" nya lambat sekali, pun angkanya tidak relevan dengan perubahan nilai uang dan harga-harga kebutuhan secara umum.
Ketimpangan inilah yang akhirnya menjadi salah satu faktor kunci, yang mendorong "langgengnya" urbanisasi ke Jakarta. Padahal, kalau tidak timpang, urbanisasi (setidaknya) tak akan sebesar yang biasa kita lihat.
Inilah satu PR besar pemerintah, yang untuk saat ini masih belum beres. Selama tingkat ketimpangan upah antara Jakarta dan daerah lain masih belum juga mampu diatasi, sekalipun status Jakarta bukan lagi ibu kota negara, rasanya fenomena urbanisasi ke Jakarta akan jadi satu fenomena "abadi" di Indonesia, seperti halnya proyek "abadi" perbaikan jalan di Jalur Pantura Jawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H