Bicara soal sepak bola nasional, ada satu kata yang bisa dibilang rutin muncul dari waktu ke waktu adalah "potensi". Sudah ada terlalu banyak narasi soal ini, tapi tidak ada yang benar-benar terwujud nyata.
Kalaupun ada, rata-rata masih cenderung berupa "bakat mentah", yang sayangnya layu sebelum berkembang, atau tak bisa berkembang lebih jauh, karena terlanjur mentok di zona nyaman.
Hal ini pun kadang masih ditambah rentetan masalah cedera dan performa inkonsisten. Dari era Okto Maniani, Febri Hariyadi sampai Bagus Kahfi, sepak bola nasional seperti punya cara untuk bercerita, soal bagaimana talenta lokal itu datang dan bersinar, tapi layu sebelum berkembang. Kalaupun ada yang beredar sedikit lebih lama, tak banyak yang bisa seawet Bambang Pamungkas atau Boaz Solossa. Bahkan, ada yang redup justru di usia puncak performa pesepakbola pada umumnya.
Satu contoh yang belakangan viral adalah Kurnia Meiga. Eks kiper Timnas Indonesia ini terpaksa pensiun di usia 27 tahun, yang merupakan usia puncak performa pesepakbola.
Eks kiper Arema itu pensiun karena mengalami masalah penglihatan, yang antara lain disebabkan gaya hidup ugal-ugalan.
Kasus ini juga mewakili gambaran tentang seberapa gawat masalah gaya hidup pemain, khususnya pada masa jaya. Akibatnya, saat pensiun mereka malah susah.
Di luar masalah pada pemain itu sendiri, PSSI juga tak pernah benar-benar membina pemain muda dan pelatih lokal, dengan sistem pembinaan pemain dan pelatih yang layak.
Akibatnya, talenta mentah yang ada tak pernah matang, dan sulit bersaing di level Asia. Di level Asia Tenggara saja keteteran saat bertemu Thailand dan Vietnam.
Secara jumlah, jumlah pesepakbola di Indonesia masih tergolong sedikit. Eddy Rahmayadi (semasa menjabat sebagai Ketum PSSI) tahun 2017 bahkan pernah menyebut, Indonesia hanya punya 67 ribu pemain sepak bola profesional.
Dengan kata lain, jumlah pesepakbola pro nasional bahkan tak sampai 0,1 persen dari 270 juta lebih penduduk Indonesia. Otomatis, potensi yang selama ini banyak dibahas sebenarnya tidak nyata, kalau tak boleh dibilang tidak ada.
Fakta ini makin diperkuat dengan fakta soal prospek kurang menjanjikan profesi sebagai pemain sepak bola di Indonesia. Sudah masa edarnya terbatas, kadang masih kena tunggakan gaji juga.
Maka, ketika Kemenpora menetapkan rencana menelusuri potensi atlet diaspora Indonesia di luar negeri, untuk memperkuat berbagai cabang olahraga, termasuk sepak bola, PSSI pun ikut bergerak.
Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada di dalam negeri, kebijakan PSSI mencari pemain diaspora adalah satu langkah realistis, yang kebetulan sejalan dengan program Kemenpora, dan tipisnya tingkat kesabaran di sepak bola nasional.
Daripada terhipnotis oleh narasi usang soal potensi yang tak nyata, akan lebih baik jika potensi nyata yang ada bisa dimanfaatkan.Â
Toh, dengan ini PSSI secara tidak langsung mengakui, seberapa bobrok  kualitas tata kelola sepak bola nasional, hingga tak mampu memberdayakan potensi lokal.
Sejauh ini, keberadaan pemain diaspora di Timnas Indonesia juga terbukti mampu membungkam Vietnam sampai 3 kali, tanpa kebobolan gol. Tim Garuda juga mampu lolos ke fase gugur Piala Asia 2023, berpeluang lolos ke Piala Asia 2027, dan masih bisa bersaing di Kualifikasi Piala Dunia 2026 zona Asia.
Selama hasilnya bagus dan kriterianya konsisten, ini masih bisa dilanjutkan. Soal  sampai kapan ini berjalan, itu sama membingungkan dengan pertanyaan soal perbaikan kualitas tata kelola sepak bola nasional.
Tapi, dengan apa yang sejauh ini kita lihat bersama, kita tetap perlu mengapresiasi PSSI dengan melempar satu pertanyaan:
Kapan lagi PSSI bisa bersikap sejujur ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H